Rapat Kerja Pengurus Bravo 2013-2015

Para pengurus Bravo sedang berkumpul dengan duduk melingkar di Anjungan Nusa tenggara barat (NTB) TMII, 29-30 desember 2012.

Peringatan hari Disabilitas internasional se-Jabodetabek

Volunteer Bravo sedang berdiskusi untuk membantu kawan-kawan disabilitas

Peringatan hari Disabilitas Internasional se-Jakarta

Kawan-kawan disabilitas sedang jalan sehat dari Monas - Bundaran Hotel Indonesia (HI)

Selalu semangat untuk kawan-kawan disabilitas

Rani Aziz, Koordinator umum sedang berdiskusi dengan Bimo Wahyudi, Koordinator harian bravo

Volunteer Bravo Bersama Barrier free turism

Sedang membantu kawan disabilitas daksa menaiki tangga di stasiun cikini yang tidak akses

Sabtu, 17 Desember 2016

Mendalami Anak Berkebutuhan Khusus




m
Anak Berkebutuhan Khusus belajar sambil bermain di Pasir Mukti, Kab. Bogor bersama Bravo via Arsip Bravo
Mereka ialah Anak Berkebutuhan Khusus. Sekiranya agak rumit untuk membuat batasan sejauh mana arti dari singkatan ini. Sebab, dalam situasi tertentu kita ingin menjadi bagian dari ABK, karna seringkali kita merasa memiliki kebutuhan khusus, bukan?

Konsep dan pemahaman terhadap Anak Berkebutuhan Khusus terus berkembang sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat. Pemikiran yang berkembang saat ini, mencoba melihat persoalan Anak Berkebutuhan Khusus dari sudut pandang yang lebih bersifat humanis, holistik, dan yang terpenting mengenai kebutuhan individu, bukan lagi atas dasar kekurangan dan ketidakmampuan dari Anak Berkebutuhan Khusus.

Anak Berkebutuhan Khusus dapat diartikan sebagai anak dengan hambatan perkembangan dan hambatan belajar, memerlukan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak. Ya, hambatan. Hal inilah yang menjadikan mereka menjadi Anak Berkebutuhan Khusus. Hambatan seperti apa kiranya?

Berdasarkan faktor penyebabnya, terdapat 2 klasifikasi untuk Anak Berkebutuhan Khusus, yaitu ABK yang bersifat sementara (temporer) dan ABK yang besifat menetap (permanen).
Anak Berkebutuhan Khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal seperti anak korban bencana alam, anak dengan trauma kejadian tertentu, dll. Sedangkan Anak Berkebutuhan Khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang disebabkan faktor internal, diakibatkan langsung dari kondisi yang dimiliki oleh anak.

Sebagai contoh, anak yang mengalami cedera tangan karena menjadi korban bencana alam, ia akan kesuitan akses belajar karena ia tidak dapat menulis sehingga ia menjadi ABK. Jika cedera tangannya sembuh dan ia kembali bisa menulis maka predikat ABK pada dirinya akan hilang (bersifat sementara), namun jika cedera tangannya tidak dapat disembuhkan maka ia akan tetap menjadi ABK (bersifat tetap).

Anak Berkebutuhan Khusus bukan berarti tidak memiliki kemampuan atau keahlian yang lebih baik dari anak pada umumnya. Hanya saja beberapa anak belum terlihat atau tergali potensi yang dimilikinya. Banyak diantara mereka yang dapat berkarya dengan hasil yang luar biasa. Yang terpenting, karya mereka takkan benar-benar terwujud apabila tidak ada suatu dukungan dari lingkungan sekitar dan pemerintah.

Bentuk perhatian pemerintah dapat diwujudkan dengan menyediakan sarana dan prasarana ABK untuk menyalurkan potensinya, salah satunya dengan layanan pendidikan yang memadai.
Bagaimana Bentuk Layanan Pendidikan yang Memadai?

Terdapat tiga macam layanan pendidikan untuk ABK, yaitu Pendidikan Segregasi, Pendidikan Integrasi, dan Pendidikan Inklusi.
 
SLB merupakan salah satu bentuk Pendidikan Segregasi via virgana.files.wordpress.com
Pertama, Pendidikan Segregasi atau yang biasa kita lihat pada sistem Sekolah Luar Biasa (SLB), sistem sekolah ini memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler.

ABK belajar bersama anak pada umumnya via http://11116dvs.blogspot.co.id
Kedua, Pendidikan Integrasi yang merujuk pada bersekolahnya ABK pada sekolah regular tetapi dalam unit atau kelas yang khusus.  Bentuk dari pendidikan ini bisa berupa berada di dalam satu kompleks sekolah namun dengan gedung dan jadwal yang berbeda atau belajar di kelas khusus dan sesekali bergabung dengan kelas reguler untuk mata pelajaran tertentu. Di dalam sistem pendidikan integrasi, anak berkebutuhan khusus menyesuaikan dengan sistem yang disediakan oleh sekolah.
sejumlah (ABK) mengikuti lomba menyusun puzzle di Serang, Banten via antaranews.com
Ketiga, Pendidikan Inklusi merupakan sebuah sistem pendidikan yang berusaha meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan, memberi peluang anak dengan latar belakang dan
kemampuan yang berbeda dapat berpartisipasi dalam lingkungan belajar yang sama. Sistem pendidikan ini merupakan wujud dari slogan “Educational for All” (Pendidikan untuk Semua).

Dalam konsep pendidikan kebutuhan khusus semua anak dipandang sebagai individu yang unik. Setiap individu anak memiliki perbedaan dalam perkembangan dan memiliki kebutuhan khusus yang berbeda pula. Diagnosa-diagnosa yang didapat terkadang menyebabkan anak-anak diberi label ketunaan yang mengakibatkan gurunya memfokuskan aktivitas layanan pendidikan pada keterbatasan yang disebabkan oleh ketidakmampuan anak. Ini mengakibatkan guru tidak menyadari potensi yang ada pada diri anak. 
Dalam konsep Pendidikan Khusus, sangat dihindari penggunaan label ketunaan, akan tetapi lebih menonjolkan anak sebagai individu yang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Dengan demikian layanan pendidikan tidak lagi didasarkan atas label ketidakmampuan anak, akan tetapi didasarkan pada hambatan belajar yang dialami dan kebutuhan setiap individu anak untuk dapat mencapai perkembangan optimal.

Setelah mengetahui dan memahami hal yang berhubungan dengan anak berkebutuhan khusus, sangat diharapkan kita dapat menjadi masyarakat yang inkusif, menerima keberagaman, dan menerima keberadaan mereka.


Putri Nur Asiati

Kamis, 24 November 2016

Aku, Kamu, Mereka = Kita



 
Sebuah keresahan yang sudah membatu membuat saya menulis sedikit cerita yang menurut sebagian orang tidak penting, tapi ini mendasar untuk saya ceritakan. Saya meyakini semua pembaca tulisan ini adalah generasi-generasi terdidik dalam memandang dan menyikapi sesuatu.

Mari kita mulai!

Indonesia merdeka sudah 71 tahun (hari ini), dengan catatan sejarah yang panjang dalam perjuangan. Bangsa ini tersohor karena memiliki beragam budaya, suku, bahasa dan manusia. Manusia yang dikenal banyak orang adalah manusia normal atau manusia pada umumnya. Saya yakin bahwa perjuangan negara untuk merdeka juga dilakukan oleh orang-orang cacat pada zaman itu (maaf saya bukan ahli sejarah, tapi boleh yaa berpendapat).

Lalu timbul pertanyaan yang menggelitik tapi cukup mendasar. Kenapa orang cacat itu tak masuk catatan sejarah? 

Mari kita berjalan kebelakang sebentar saja. berada kira-kira pada zaman abad 15 sampai abad 17 (kalau salah tolong koreksinya), dimana pada masa itu ada masa belas kasih, pola pikir kaum berpikir hanya terpusat pada kasihan, beranjak pada masa penyantunan, cara berpikir abad ini orang cacat hanya disantuni saja. Karena budaya berpikir pada masa itu belum secantik sekarang. mungkin hal itu yang membuat orang cacat tak pernah masuk dalam catatan sejarah.

Lanjut (lagi)!!

Sebagian pembaca mungkin bertanya kenapa saya masih menggunakan istilah cacat dalam tulisan saya. Iya, sebab saya mencoba membawa pembaca bagaimana melihat perjalanan kata cacat sampai kepada kata disabilitas. Perjuangan dan penuntutan keadilan para penyandang cacat sedikit terkabul ketika mereka menyuarakan agar kata cacat itu dihilangkan dan diganti dengan bahasa yang lebih halus. Hal itu kemudian didengar oleh pemerintah dan dengan rapat yang cukup banyak menelan uang negara, yang akhirnya kata cacat dihilangkan, lalu munculah kata disabilitas. Ternyata perjuangan untuk mengganti nama cacat saja butuh perjuangan, yakni dari pertama merdeka sampai kata disabilitas muncul butuh waktu yang sangat sangat lama, hingga puluhan tahun bahkan. 

Lalu bagaimana dengan pemenuhan hak?

Berbicara pemenuhan hak berarti berbicara kesetaraan. Oh iya, sang pemikir tua (saya menyebutnya) yang dahulu membuat UUD 1945 dan pancasila sebagai dasar negara memiliki pemikiran sangat baik. Pembaca tidak akan menemukan satu kata pun tentang mayoritas atau minoritas dalam pembukaan UUD. 

Haruskah kita membangunkan pemikir tua tadi dari tidurnya untuk menjelaskan bahwa semua warga negara Indonesia ini sama?
 
Haruskah penyandang disabilitas ini menuntut kesetaraan terus menerus sampai negara ini berdiri satu hari sebelum kiamat?

Sangat berat memang. Namun generasi muda tercipta untuk memutus generasi tua atau pemimpin yang mengacau, sudah saatnya turun tangan dan berbuat. Untuk merubah generasi tua nampaknya sudah tidak mungkin, sebab logika berpikir mereka hari ini sudah sangat berbeda.

Pemikiran hari ini adalah hasil dari pemikiran masa lalu, sedang pemikiran masa depan adalah hasil pemikiran hari ini. Struktur berpikir yang benar akan membuat semua masalah berujung solusi (Anies Baswedan). Mungkin gagasan ini cocok untuk bagaimana kita menyelesaikan masalah dengan struktur berpikir. Tugas generasi muda hari ini adalah membukakan perspektif kepada generasi muda yang lain. Sebab, bangsa ini akan dipimpin oleh generasi muda nantinya. Perspektif yang kita gaungkan adalah bagaimana cara pandang kita melihat penyandang disabilitas itu sama dalam hak sebagai warga negara. Kalau generasi muda yang memimpin nantinya masih sama saja seperti sekarang, sepertinya penyandang disabiitas akan bekerja ekstra dalam pemenuhan hak nya. Tan Malaka dalam Madilog pernah berbicara “Perjuangan kaum yang tertindas akan terus berlanjut ketika penguasa atau penghisap masih ada dalam pimpinan kekuasaan” kira-kira begitu.

Aku, Kamu, Mereka = Kita

Kata kita memiliki arti yang menyatukan, menyamakan, dll. Dalam arti berbeda adalah disabilitas akan memiliki kesamaan ketika di tangan pemimpin yang mampu menyetarakan mereka.

Mari berbuat dengan cara kita masing-masing untuk kesetaraan disabilitas dan negara. 

Ady Syahputra Gultom

Jumat, 29 April 2016

DISABILITAS DAN PANDANGAN MASYARAKAT

“Tuhan tidak pernah menciptakan keberuntungan atau ketidakberuntungan,

Tuhan memberikan kesempatan untuk meraih yang kita tuju

dan bagai mana cara kita atau jalan kita untuk memperolehnya”



A.     Perjalanan Paradigma 

Disabilitas bukanlah hal baru ditelinga kita, dahulu kita mengetahuinya dengan kata penyandang cacat. Lalu di Indonesia berapa jumlah penyandang disabiilitas. Sebuah data dari kemenkes tahun 2011 sebanyak 6,7 juta jiwa atau 3,11% (jpnn.com, 11/4/2012). 

Masyarakat masih menganggap bahwa penyandang disabilitas adalah orang yang tidak mampu melakukan apapun, selalu minta bantuan dan madesu. Bahkan pemerintah secara tidak langsung mendiskriminasi dan meminggirkan disabilitas yang memiliki potensi yakni “sehat jasmani dan rohani” atau Surat Keterangan Dokter” dalam sebuah persyaratan pendaftaran pekerjaan dan pendidikan.

Bahkan ketika zaman hitler, terjadi pemusnahan terhadap penyandang cacat (red: disabiitas). Di zaman tersebut penyandang disabilitas hanya dipandang sebelah mata sebagai kaum yang tidak layak untuk tinggal di bumi ini.

Maka jika kita urutkan dari zaman ke zaman, sebenarnya masyarakat semakin lama semakin baik perspektifnya. Hal itu terjadi ketika Ratifikasi UU tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas tahun 2011, yang secara langsung menekan ke masyarakat dan pemerintah bahwa penyandang disabilitas memiliki hak hidup yang layak, bahkan sampai detik ini para penyandang disabilitas masih berjuang untuk merealisasikan hak penyandang disabilitas yang jauh lebih “bertaring” dan komperhensif.

B. Keberadaan Masyarakat

Permasalahan kompleks mengenai disabilitas di Indonesia menjadikan sebuah isu strategis yang sangat sensitif. Hal sensitif ini mengalir karena masih adanya masyarakat yang berfikir politis (,"Buat apa sih peduli sama begituan? Mending ngurusin diri sendiri dulu baik-baik sebelum ngurusin orang lain.")

Ketika kita kecil orangtua dan guru mengajarkan kita untuk hidup gotong-royong, tenggang rasa, empati dsb. Bahkan muncul bahasa “memanusiakan manusia” sebuah semboyan yang mendalam dan penuh makna.

Memanusiakan manusia berarti menganggapnya setara dengan kita sehingga muncul sikap menerima terhadap segala kekurangannya. Entah  fisik atau mental yang terbatas. Semua kekurangan itu harus diterima sebagai sebuah keberagaman yang bukan memisahkan melainkan menyatukan.

Dengan demikian tidak ada lagi  upaya atau rasa sedikitpun untuk menghina, mengejek, meminggirkan, memojokkan, bahkan memusnahkan. Adapun membantu menjadi manusia yang lebih baik berarti menunjukkan kepedulian  membantu penyandang disabilitas untuk  mencapai kehidupan yang lebih baik.

1. Kepedulian Intern

Berarti bentuk kepedulian yang muncul dalam diri pribadi, dalam hati dan perasaan, yang berupa tenggang rasa dan empati yang nantinya terealisasi dalam bentuk perilaku yang baik.

a. Pola Asuh Keluarga yang Baik

b. Pola Pendidikan di Sekolah

c. Pola Pergaulan di Lingkungan Sekitar 

2. Kepedulian Ektern

a. Membuka Kesempatan/Peluang Kerja terhadap Penyandang Disabilitas

b. Mengadakan Fasilitas Pendukung terhadap Penyandang Disabilitas.

C. Peran

Saat ini masih ada masyarakat yang belum mengetahui dan memahami bagaimana disabilitas sebenarnya memiliki kemamuan dan kelebihan yang jarang dimiliki oranglain. Maka mengutip dari makna pendidikan dimana “yang tahu memberitahu, dan yang belum tahu mencari tahu; dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa”.

Kesempatan dalam melakukan sesuatu merupakan hal utama  dalam menjadikan sesuatu yang lebih baik. Semua orang jika diberikan kesempatan dan kepercayaan niscaya orang itupun akan mampu melakukannya termasuk penyandang disabilitas.

Keberadaan penyandang disabilitas ibarat dua sisi mata uang dalam kehidupan manusia. Mereka bukanlah akibat dari kesalahan penciptaan Tuhan, namun mereka adalah jalan pembuka bagi hati kita untuk menempa kepedulian terhadap sesama.

Tuhan menciptakan manusia itu sempurna tanpa perbedaan, yang membuat berbeda dirinya dan perasaanya sendiri.





Keterbatasan bukan berarti dunia terbatas

Narahubung: Tri Cahyadi Arief / tricahyadiarief@gmail.com

Rabu, 06 April 2016

Ujian Nasionalnya Anak Berkebutuhan Khusus


Jalanan menuju Jakarta pagi ini tak seramai hari biasanya. Penyebabnya jalanan yang biasanya nampak ramai oleh para pekerja dan pelajar kini yang tersisa hanyalah para pekerja yang mengais rezeki di kota metropolitan itu. Hanya sedikit pemuda yang menggunakan seragam putih abu melintasi jalanan padat Jakarta seperti jalan utama dari arah Depok menuju Jakarta melintasi Lenteng Agung. Pemandangan tersebut terjadi karena mayoritas pelajar SMA di DKI Jakarta sedang menempuh Ujian Nasional tingkat SMA, sehingga sekolah diliburkan untuk kelas 10 dan 11 SMA dan sederajatnya. 
 
Ujian Nasional biasanya merupakan momok bagi pelajar tingkat akhir. Betapa tidak selama bersekolah kurang lebih tiga tahun hanya ditentukan oleh hasil nilai Ujian Nasional yang dikerjakan kurang lebih selama seminggu. Banyak sekolah yang menyelenggarakan suatu kegiatan  yang membuat siswa/I lebih tenang dalam menghadapi UN diantaranya dengan menyelenggarakan simulasi Ujian Nasional berbentuk Try Out supaya siswa/I terbiasa dalam mengahadapi butir soal ujian nasional, tambahan jam pelajaran yang dkhususkan materi yang di Ujian Nasionalkan, hingga acara doa bareng yang bertajuk Istighosah yang selalu menjadi acara langganan dalam hari-hari menjelang Ujian Nasional tersebut. 

Kegetiran yang dialami siswa/I SMA dan sederajat juga dialami oleh Siswa/I berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah-sekolah inklusi yang tersedia, maupun di sekolah khusus seperti sekolah luar biasa. Berbagai persiapan telah dilakukan oleh peserta didik maupun pihak sekolah. Diantaranya melatih mental, memberikan tambahan jam belajar, pelatihan try out, mempersiapkan peralatan ujian nasional sejak lama, melakukan Istighosah atau doa bersamapun juga menjadi hal yang rutin dilakukan. Apalagi tahun ini perdana diselenggarakannya ujian nasional berbasis komputer (UNBK). 

Berbeda dengan siswa/I pada umumnya, Ujian Nasional bagi peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah inklusi merupakan hal yang sunnah untuk dilaksanakan. Standar kelulusan untuk peserta didik berkebuthan khusus tidak semata ditentukan melalui ujian nasional. Peserta didik berkebutuhan khusus yang mendapat rekomendasi dari guru pendidikan khusus yang berada di sekolah setempat, boleh mengikuti ujian nasional layaknya peserta didik umum. Namun jika tidak mendapat rekomendasi, maka penentuan kelulusan pserta didik berkebtuhan khusus ditentukan melalui ujian sekolah dan pihak sekolah lah yang menentukan nasib kelulusan peserta didik berkebutuhan khusus tersebut.

Dalam teknis pelaksanaan Ujian Nasional di sekolah khusus ataupun sekolah luar biasa, terdapat hal-hal yang membedakan antara peserta didik umum dan peserta didik berkebutuhan khusus. Alokasi waktu menjadi pembeda dilaksanakannya ujian nasional di sekolah khusus. Ada penambahan waktu sekitar 30 menit untuk peserta didik berkebutuhan khusus. Jika SMA diberikan waktu 90 menit, berarti sekolah khusus mendapatkan waktu 120 menit. Sementara terkait tingkat kesulitan soal UN SLB hampir sama dengan sekolah umum, karena pembelajaran yang diterapkan sesuai kurikulum yang ditetapkan.
 
Berdasarkan Permendikbud Nomor 70 tahun 2009, pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sitem layanan pendidikan yang mengikut sertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah regular yang terdeksat dengan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan pendidikna inklusif menuntut pihak sekolh melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajran yang disesuaikan dengan kebutuuhan individu peserta didik, termasuk juga dalam penyelanggaraan ujian nasional ini. Dalam hal ini diperlukan penyesuaian dari pihak sekolah agar peserta didik di sekolah inklusi dapat mengikuti ujuan nasional dnegan baik, diataranya soal yang berbentuk Braille bagi peserta didik dengan hambatan penglihatan, disediakan butir soal pengganti bagi peserta didik dengan hambatan mendengar ketika menjawab soal listening dalam mata pelajaran bahasa inggris, maupun disediakan alat khusus bagi peserta didik dengan hambatan fisik.

Narahubung: Denny Abdurrachman (denny_271294@yahoo.co.id)