
Meski agaknya disabilitas bukanlah sekedar narasi, apalagi sebatas wacana yang mengusik telinga kita. Disabilitas adalah sebuah realitas. Atau fenomena keseharian yang terkadang luput dari pengamatan inderawi kita. lantaran sebenarnya disabilitas kerap kali hadir, entah ia sebagai si cacat, si pincang, si buta, si budeg, si dungu, si gila, dan entah “si”-apa lagi. Cobalah tengok di pasar-pasar, di terminal-terminal, dalam kereta, perempatan jalan, dan di tempat-tempat ‘komunal’ lainnya. pasti akan dengan mudah bertemu ‘si cacat’ ini. Atau dalam ragam profesi, disabilitas kerap kita kenal sebagai si peminta, si pengemis atau si tukang pijat ‘berijazah’.
Label disabilitas itu ‘diciptakan’. Yang mulanya adalah sebuah mitos. sejarah mencatat, militer Yunani kuno dan Roma telah berupaya menyingkirkan ‘si cacat’ ini, jauh sebelum Hitler pada kurun 1940an melakukan pembantaian masal terhadap mereka, demi menjaga ‘kesucian’ ras Arya. Sebentuk modus ‘operasi’ atas nama moralisasi agama dan budaya yang memitoskan ‘si cacat’ lahir dari sebuah ‘kutukan’, akibat dosa yang harus ditanggung. Sejurus kemudian, disabilitas pun dilekati stereotipe negatif oleh medikalisasi para ahli medis, yang pada tahun 1977 sempat dihujat oleh Ivan illich, lantaran mengangap disabilitas ‘berpenyakitan’. Pendeknya, disabilitas ‘muncul’ sebagai defaluasi simbol melalui pengkategorian sebagai Yang-lain.
Yang pasti disabilitas itu ‘dekat’ dengan penindasan. Yang menurut Iris Marison Young, tak jauh pula dari eksploitasi, marginalisasi, pelemahan, imperalisme kultural, dan juga kekerasan. Kelas sosial lalu terbentuk, lahir penindas dan petindas. Dan lagi-lagi disabilitas harus menjadi si kecil pula. kelas menjadikan mereka ringkih, lemah dan kehilangan ruang gerak untuk hidup atau sekedar menunjukkan eksistensi. Arsitektural, mobilitas, pendidikan, pekerjaan, legal dan legitimasi akan menjadi balada baru bagi disabilitas. Atau setidaknya batu sandungan yang melelahkan. Yang acap kali memaksa mereka ‘berdiam diri’. Pada akhirnya; berteman dengan fatalisme sebagai ‘arus kecil’ adalah pilihan yang realistis. Pula, ‘menentramkan’.
Tragedi disabilitas adalah tragedi pluralisme. Tapi jauh sebelum wacana pluralisme mencuat pada era postmo, Hegel telah membuat catatan tentang ‘pluralitas’ melalui prinsip negativitas dan kontradiksi-nya. Bahwa, realitas itu penuh kontradiksi. Dalam universal selalu hadir partikular. Pula, ketika ada mayoritas maka terbentuk sekelompok kecil lain sebagai minoritas. Karenanya; segala sesuatu memperoleh identitas sebagai ‘yang normal’ atau ‘yang sempurna’ itu berangkat dari rangkaian relasi negatif tak terhingga dengan segala satuan lain. Yakni, dari ‘yang tidak normal’ atau ‘yang cacat’. Itulah pluralisme.
Namun masalah disabilitas tak sebatas pluralitas semata, atau penerimaan sebagai ‘bukan’ identitas Yang-lain saja. ia jauh meruntut, berbenturan dengan mitos-mitos agama, norma budaya dalam masyarakat kita, stigma serta stereotif negatif yang terlanjur diwacanakan oleh kaum medis, dan ‘cap buruk’ lainnya yang membetuk cercle vicieux bagi disabilitas. Pengalaman kita sebagai bangunan dari proses sosial, historik, kulturasi, ekonomis, dan politis, yang kemudian berafiasi sebagai pengetahuan telah membentuk kosep identitas negatif disabilitas dalam benak kita, entah itu sebagai si cacat, si buta atau lainnya.
Dekonstruksi budaya
Politik kesadaran menjadi semacam pintu pengharapan. Berbicara kesadaran berarti kita berbicara tentang cara pandang, cara hidup dan idealitas, serta pengakuan akan realitas. Artinya memahami disabilitas berarti kita harus berangkat dari sikap bahwa disabilitas adalah sebuah fakta sosial. Yang dalam konsepsi sosiolog Emile Durkheim fakta sosial bukanlah fenomena psikologi karena ia berada diluar kekuasaan sadar seorang individu. Masalah disabilitas bukan lagi masalah personal, akan tetapi telah menjadi masalah sosial, itu sama artinya kita harus memandang persoalan disabilitas secara utuh dan menyeluruh.
Dari situ; pendidikan pembebasan dan penyadaran menjadi modal awal. Dan Paulo Freire menjanjikan hal ini. Lewat pedagogik kritisnya, Freire menawarkan proses pembebasan yang memiliki dua fase; Kesadaran kritis dan praksis kritis. Kesadaran kritis membangun ‘kesungguhan’ kita -juga disabilitas sendiri- bahwa meraka memiliki identitas politik serta peran sosial. Kesadaran kritis adalah proses pembebasan itu sendiri. Tapi setelah itu bertaut pada fase kedua, yakni praktis. kesadaran kritis memerlukan praktis kritis melalui jalan dialektis,
Dan ketika kesadaran kritis telah terbentuk, akan merangsang sebuah ‘gerakan sosial’ terhadap disabilitas. Lalu muaranya adalah terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat yang inklusif (inklusive society). Sebentuk tatanan masyarakat yang mengakui pluralisme (keberagaman) sebagai sebentuk ‘pengakuan’ akan perbedaan, memandang equity (kesetaraan) hak dan kewajiban bagi disabilitas, lalu menghargai dignity (martabat) para disabilitas bukan sebagai ‘yang-lain’, dan yang terakhir memberikan kesempatan active pertisipation (partisipasi aktif) yang sama bagi para disabilitas. Pada akhirnya, sebentuk kesadaran menjanjikan pengakuan; Bhineka tunggal ika tana hana dharma mangrwa.
berkelas ni bacaannya :D
BalasHapusdiperbanyak ya , hehehe