Pekan ini merupakan pekan yang teramat sibuk bagi penyandang
disabilitas, maupun bagi aktivis penggiat isu disabilitas. Betapa tidak, di pekan
ini banyak sekali agenda yang dilaksanakan yang berhubungan dengan disabilitas.
Mulai dari kegiatan yang berbentuk olahraga seperti jalan santai dan kegiatan-kegiatan
perlombaan olahraga penyandang disabilitas, kegiatan audiensi maupun seminar
untuk menyuarakan aspirasi disabilitas, bahkan hingga diundang menjadi partsipan
dalam beberapa acara tv sekalipun, disabilitas tak kunjung absen kehadirannnya.
Hal tersebut dirasakan karena disabilitas sedang merayakan yang
namanya “ hari lebarannya disabilitas” kata Pak Ajat dari Organisasi Ikatan Tunanetra
Muslim Indonesia (ITMI). Lebarannya disabilitas yang dimaksud adalah hari
peringatan disabilitas internasional yang setiap tahun selalu diperingati
setiap tanggal 3 Desember.
Peringatan hari disabilitas internasional banyak memiliki arti bagi
penyandang disabilitas. Betapa tidak, di hari tersebut merupakan kesempatan
untuk unjuk gigi bagi disabilitas di muka public melalui terselenggaranya
kegiatan yang berkaitan dengan disabilitas. Melalui kegiatan yang tersebut, setidaknya
masyarakat umum dapat melihat bahwa disabilitaspun mampu berbuat sesuatu
seperti yang dilakukan masyarakat umum. Hal tersebut membuat pemahaman baru
oleh masyarakat terhadap disabilitas, dari yang awalnya beranggapan bahwa
disabilitas hanyalah golongan marginal yang selalu tersisihkan, berkekurangan, dan
butuh banyak uluran tangan. Kini disabilitas menjadi
golongan masyarakat yang wajib dirangkul bahkan dijabat tangannya untuk menjadikan
suatu negara yang lebih baik dan lebih aksesibel terhadap semua kalangan atas
dasar kesetaraan.
Berbicara tentang Hari Disabilitas Internasional (HDI), berbicara pula tentang aspirasi yang selalu
berulang digaungkan setiap tahun namun tak jua ada setitik perubahan. Ya aspirasi
tersebut berkaitan dengan hak asasi manusia bagi disabilitas. Seperti diketahui
bersama bahwa salah
satu bentuk alat ukur demokrasi yang sedang diampu oleh sebuah pemerintahan
adalah dengan menimbang kemampuan Negara tersebut dalam memenuhi dan menjamin
hak warga negaranya. Artinya negara menjadi provider sekaligus pelindung
bagi hak-hak semua warga negara yang dimilikinya. Dengan demikian, salah
satunya, dalam konteks ini, maka negara berkewajiban menyediakan pelayanan
publik yang dapat dinikmati dan benar-benar berangkat dari kebutuhan masyarakatnya.
Untuk itu aksesibilitas fasilitas publik menjadi hal yang wajib, terutama bagi penyandang
disabilitas.
Di Jakarta sendiri
yang merupakan ibu kota dan seharusnya menjadi kota percontohan bagi kota
lainnya masih amat jauh dari kata ramah bagi disabilitas. Komunitas Bravo for
Disabiities beberapa kali melakukan blusukan
Transjakarta. Komunitas Bravo menemukan beragam masalah terkait
aksesibilitas di Transjakarta. mulai dari tidak tersedianya Ramp bagi akses untuk pengguna kursi
roda dalam menaiki moda transportasi transjakarta, tidak meratanya persediaan
bus yang aksesibel bagi disabilitas, seperti tidak maksimalnya penggunaan papan
informasi berjalan atau yang disebut dengan running text sebagai pemberitahuan
bagi disabilitas tunarungu, kemudian tidak tersedianya pemberitahuan berupa
audio yang bisa dijangkau oleh disabilitas netra, tidak tersedinya guiding
block seperti di fasilitas public yang sudah tersedia di Negara-negara tetangga
seperti Malaysia dan Siangpura, dan tidak sigapnya pelayanan dari petugas
transjakarta yang berjaga di halte maupun di dalam bus, sehingga menyulitkan
disabilitas dalam asas kemandirian dalam menggunakan fasilitas public transjakarta.
Menurut sepenglihatan, bus yang aksesibel hanya tersedia di beberapa koridor. Diantaranya
koridor yang melalui jalan dari Kota ke Blok M, dan bus tersebut pun tidak
semuanya aksesibel. Dan jika kalian bertanya bagaimana keadaan koridor lainnya,
ah entahlaaah kalian harus merasakan menjadi disabilitas biar tahu rasanya
berjuang hanya untuk mendapatkan hak yang sama dalam bidang transportasi.
Selain permasalahan aksesibilitas, disabilitas juga memiliki
masalah dalam jaminan hukum yang sesuai dengan perkembangan paradigma terhadap
disabilitas saat ini. Kita lihat akhir-akhir ini di beberapa media sosial
sering terdengar desakan
untuk melakukan revisi terhadap UU Penyandang Cacat tidak terlepas dari
momentum yang terbangun saat ini. Pasca dicanangkannya Resolusi PBB No. 61
tahun 2006 tentang Convention on the Rights of Persons with Disabilities
banyak negara berupaya untuk mengubah cara pandang terhadap pemenuhan hak-hak
bagi penyandang disabilitas. Pada tahun 2007, Indonesia, sebagai salah satu
negara anggota PBB, ikut menandatangani pemberlakuan CRPD di dunia. Momentum
berlanjut ketika konvensi itu diratifikasi, lalu disahkan, melalui
Undang-undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with
Disabilities). Pengesahan itu tidak hanya bermakna pemenuhan atas aspek
formal dalam pengesahan Undang-undang di Indonesia, tetapi lebih jauh lagi,
penandatanganan itu ibarat membuka lembaran baru bagi bangsa Indonesia dalam
upaya memenuhi hak-hak penyandangan disabilitas sebagai bagian dari masyarakat
Indonesia. Namun kini persiapan Draft RUU Penyandang Disabilitas
berjalan sangat lambat. Padahal RUU Penyandang Disabilitas sudah resmi masuk
sebagai prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015..
Secercah harapan yang takkan pernah padam selalu timbul di pekan sibuknya disabilitas
seperti saat ini, bahwa kelak kesetaraan serta keberadaan disabilitas di
masayarakat bukan sekedar seremonial mingguan yang hanya terjadi di pekan-pekan
menjelang tanggal 3 Desember ataupun pekan-pekan setelah peringatan 3 Desember.
Kelak kesetaraan harus menjadi kewajiban dan kebiasaan di Negara yang sudah
memproklamirkan diri sejak 70 tahun silam ini. Akhir kata penulis menguncapkan
Selamat Hari Disabilitas Internasional, keterbatasan bukan berarti dunias
terbatas.
Narahubung: Denny Abdurrachman (denny_271294@yahoo.co.id)