Rapat Kerja Pengurus Bravo 2013-2015
Para pengurus Bravo sedang berkumpul dengan duduk melingkar di Anjungan Nusa tenggara barat (NTB) TMII, 29-30 desember 2012.
Peringatan hari Disabilitas internasional se-Jabodetabek
Volunteer Bravo sedang berdiskusi untuk membantu kawan-kawan disabilitas
Peringatan hari Disabilitas Internasional se-Jakarta
Kawan-kawan disabilitas sedang jalan sehat dari Monas - Bundaran Hotel Indonesia (HI)
Selalu semangat untuk kawan-kawan disabilitas
Rani Aziz, Koordinator umum sedang berdiskusi dengan Bimo Wahyudi, Koordinator harian bravo
Volunteer Bravo Bersama Barrier free turism
Sedang membantu kawan disabilitas daksa menaiki tangga di stasiun cikini yang tidak akses
Jumat, 22 Maret 2019
Hari Down Syndrome Sedunia: Leave No One Behind
04.42
No comments
Kamis, 07 Maret 2019
PEMILU dan KEBUTUHAN KAMI
03.47
No comments
Halo Sahabat Disabilitas, kembali lagi
bersama BRAVO FOR DISABILITIES.
Beberapa hari kemarin ada tuh Debat Capres
dan Cawapres yang membahas tentang Disabilitas, Kalian nonton ga?
Inti dari pembicaraan itu adalah bagaimana
Pemenuhan Hak para Penyandang Disabilitas, dimulai dari isu-isu disabilitas,
kesejahteraan, fasilitas public serta hak-hak politik yang dimiliki para
penyandang disabilitas.
Hasil Debat malam itu ialah adanya perubahan Paradigma
dari ‘kasihan’ atau Charity Based yang
harus diberikan bantuan ini dan itu, tetapi yang sekarang adalah ‘Pemenuhan Hak’
atau Social Based yaitu upaya yang
dilakukan untuk memenuhi, melaksanakan, dan mewujudkan hak Penyandang
Disabilitas, sehingga para Penyandang Disabilitas bisa menjalankan aktivitas
sehari-harinya secara mandiri, bahkan menjalankan kewajibannya sebagai Warga
Negara dengan mandiri, baik dan lancar.
Label ‘kasihan’ dan label negatif-negatif
ini harus dihapuskan karena Penyandang Disabilitas tidak membutuhkan itu,
tetapi membutuhkan ‘kesetaraan’. Hal ini menyuratkan bahwa kita harus
menyamakan perlakuan pada disabilitas ataupun non-Disabilitas dengan
‘penghormatan’ yaitu sikap menghargai atau menerima keberadaan Penyandang
Disabilitas dengan segala hak yang melekat agar tidak terjadi iri hati dan
kebencian satu sama lain. Ingatlah bahwa KETERBATASAN BUKAN BERARTI DUNIA
TERBATAS.
Yang dimaksud dengan ‘kesetaraan’ ini adalah kondisi di berbagai sistem dalam
masyarakat dan lingkungan, seperti pelayanan, kegiatan, informasi dan
dokumentasi yang dibuat dapat mengikutsertakan
semua orang termasuk Penyandang Disabilitas. Sehingga timbul ‘Kesamaan Kesempatan’ yaitu
keadaan yang memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada Penyandang
Disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara
dan masyarakat.
Berbicara tentang Pemenuhan Hak Penyandang
Disabilitas, sebagaimana sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016
Pasal 5, yang isinya
Penyandang
Disabilitas memiliki hak:
a.
hidup;
b.
bebas dari stigma;
c.
privasi;
d.
keadilan dan perlindungan hukum;
e.
pendidikan;
f.
pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi;
g.
kesehatan;
h.
politik;
i.
keagamaan;
j.
keolahragaan;
k.
kebudayaan dan pariwisata;
l.
kesejahteraan sosial;
m.
Aksesibilitas;
n.
Pelayanan Publik;
o.
Pelindungan dari bencana;
p.
habilitasi dan rehabilitasi;
q. Konsesi;
r. pendataan;
s. hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat;
t. berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi;
u. berpindah tempat dan kewarganegaraan; dan
v. bebas dari tindakan Diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi.
Dua Puluh Dua Hak itulah yang benar-benar
dibutuhkan oleh para Penyandang Disabilitas, melihat dari hak-hak tersebut
dapat kita saksikan bahwa hak-hak tersebut memang sudah ada dalam kodratnya
manusia, yang kita kenal dengan Hak Asasi Manusia. Setiap orang, bukan hanya
penyandang Disabilitas haruslah mendapatkan hak tersebut tanpa diskriminasi dan
pandangan atau stigma yang buruk, stigma yang buruk disini maksudnya stigma
yang menganggap para Penyandang Disabilitas tidak bisa apa-apa sehingga diberi
label ‘kasihan’ atau label-label negative terkait kondisi disabilitasnya.
Munculnya Dua Puluh Dua hak tersebut tentu
memiliki landasan yang tidak main-main yang tertera dalam UU No.8 Tahun 2016, yaitu:
a.
Penghormatan terhadap martabat;
b.
otonomi individu;
c.
tanpa Diskriminasi;
d.
partisipasi penuh;
e.
keragaman manusia dan kemanusiaan;
f.
Kesamaan Kesempatan;
g.
kesetaraan;
h.
Aksesibilitas;
i.
kapasitas yang terus berkembang dan identitas anak;
j.
inklusif; dan
k. perlakuan
khusus dan Pelindungan lebih.
Sehingga kita haruslah menghormati setiap
perbedaan individu yang memiliki kemampuan, sifat, kemauan, motivasi,
kecerdasan yang berbeda-beda. Yang paling penting ialah cara untuk memenuhi
kewajiban sebagai Warga Negara dan Makhluk Tuhan secara mandiri tanpa hambatan
yang berarti.
Tujuan dari Pemenuhan hak itu sendiri juga
tertera dalam UU No.8 Tahun 2016, yaitu sebagai berikut:
a.
mewujudkan Penghormatan, pemajuan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak asasi manusia
serta kebebasan dasar Penyandang Disabilitas secara penuh dan setara;
b.
menjamin upaya Penghormatan, pemajuan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak sebagai
martabat yang melekat pada diri Penyandang Disabilitas;
c.
mewujudkan taraf kehidupan Penyandang Disabilitas yang lebih berkualitas, adil,
sejahtera lahir dan batin, mandiri, serta bermartabat;
d.
melindungi Penyandang Disabilitas dari penelantaran dan eksploitasi, pelecehan
dan segala tindakan diskriminatif, serta pelanggaran hak asasi manusia; dan
e. memastikan
pelaksanaan upaya Penghormatan, pemajuan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak
Penyandang Disabilitas untuk mengembangkan diri serta mendayagunakan seluruh
kemampuan sesuai bakat dan minat yang dimilikinya untuk menikmati, berperan
serta berkontribusi secara optimal, aman, leluasa, dan bermartabat dalam segala
aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Tujuan-tujuan itu sudah sangat rinci karena
para Penyandang Disabilitas ingin mewujudkan kemandirian yang bermatabat, tanpa
diskriminasi dari lingkungan sekitar, apalagi dari Negara.
Bonus>>>
Dalam Debat Capres dan Cawapres, ada
pertanyaan tentang hak-hak politik Disabilitas, maka dari itu inilah hak-hak
Politik Disabilitas:
a.
memilih dan dipilih dalam jabatan publik;
b.
menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan;
c.
memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan
umum;
d.
membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi masyarakat dan/atau
partai politik;
e. membentuk
dan bergabung dalam organisasi Penyandang Disabilitas dan untuk mewakili
Penyandang Disabilitas pada tingkat lokal, nasional, dan internasional;
f. berperan serta secara aktif dalam sistem pemilihan umum
pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya;
g. memperoleh Aksesibilitas pada sarana dan prasarana
penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan
pemilihan kepala desa atau nama lain; dan
h.
memperoleh pendidikan politik.
Dari hak-hak tersebut kita dapat simpulkan
bahwa hak-hak penyandang disabilitas sama saja halnya dalam UUD 1945, tidak ada
yang terlalu berlebihan atau menyimpang dari UUD 1945. Yang dapat kita lakukan
ialah membantu mewujudkan hak-hak tersebut dan menghapus label atau stigma
negative yang ada dalam para penyandang disabilitas.
Note: Penulis tidak bermaksud untuk memilih,
menyuruh, mengisyaratkan atau menunjuk salah satu Paslon yang paling hebat dan
benar agar menang di periode nanti. Tapi tujuan dari penulisan ini agar kita
bisa bersama-sama membangun asa untuk Indonesia nanti, terutama p ada bagian
Penyandang Disabilitas. Semoga dengan tulisan ini, semua dapat terbantu untuk
menciptakan situasi dan kondisi yang ramah dan memajukan disabilitas.
#KETERBATASANBUKANBERARTIDUNIATERBATAS
Sumber:
Debat Capres-Cawapres
UU No.8 Tahun 2016
x
Rabu, 04 Januari 2017
Hari Braille Sedunia
20.24
No comments
Hari Braille diperingati setiap tanggal 4 Januari yang merupakan hari ulang tahun penemu tulisan braille, yaitu Louis Braille. Hari Braille diperingati dalam rangka mengakui kontrubusi Louis Braille dalam membantu tunanetra untuk dapat membaca dan menulis.
![]() |
membaca tulisan braille via britannica.com |
Komunitas
dan organisasi sosial pemerhati disabilitas di seluruh dunia menjadikan hari
ini untuk dengan membuat kepedulian tentang
tantangan yang dihadapi penyandang tunanetra dan mendorong pemerintah untuk menciptakan kesempatan yang sama dalam segala
aspek kehidupan dalam rangka pemenuhan
hak penyandang disabilitas, khususnya penyandang tunanetra.
Untuk
mengenang jasanya yang tak terhingga itu, pada tahun 1956 The World Council for
The Welfare of the Blind (Dewan Dunia untuk Kesejahteraan Tunanetra) menjadikan
bekas rumah kediaman Louis Braille yang terletak di Coupray, 40 km sebelah
timur Paris, sebagai museum Louis Braille.
Tentang Braille
![]() |
alfabet dalam tulisan braille via www.papermasters.com |
Braille adalah merupakan sebuah sistem tulisan yang
terdiri dari enam titik-titik timbul berbentuk “domino” sebagai kerangka sistem
tulisannya. Bentuk sistem tulisan Braille itu yakni tiga titik ke bawah dan dua
titik ke kanan. Untuk memudahkan pendeskripsian, tiga titik di sebelah kiri
diberi nomor 1, 2 dan 3 (dari atas ke bawah), dan tiga titik di sebelah kanan
diberi nomor 4, 5, dan 6. Satu atau beberapa dari enam titik itu divariasikan
letaknya sehingga membentuk sebanyak 63 macam kombinasi yang cukup untuk
menggambarkan abjad, angka, tandatanda baca, matematika, music, dan lain-lain.
Yang mendasari sistem tulisan Braille adalah sistem titik-titik
timbul yang diciptakan oleh Charles Barbier, seorang perwira artileri Napoleon.
Pada tahun 1815, dalam peperangan Napoleon, Barbier menciptakan tulisan sandi
yang terdiri dari titik-titik dan garis-garis timbul yang dinamakannya “tulisan
malam”. Barbier menggunakan tulisan ini untuk memungkinkan pasukannya membaca
perintah-perintah militer dalam kegelapan amlam dengan merabanya melalui
ujung-ujung jari. Barbier menggunakan pola 12 titik yang terdiri dari dua
deretan vertical yang masing-masing terdiri dari enam titik. Titik-titik
tersebut dibuat dengan menusukkan sebuah alat tajam pada kertas tebal yang
diletakkan pada sebuah cetakan dari logam. Alat yang inovatif ini masih bertahan
hingga kini sebagai alat tulis Braille yang paling banyak dipergunakan Di
Indonesia, alat ini disebut “pen” dan “reglet”.
Pada tahun 1920,
Barbier tertarik untuk memperkenalkannya kepada lembaga pendidikan penyandang
tunanetra. Pada awalnya anak-anak tunanetra di lembaga itu sangat senang dengan
tulisan ini, lebih mudah dikneali dengan unjung jari. Tetapi kemudian mereka menyadari
bahwa sistem tulisan mala mini masih memiliki banyak kekurangan. Sistem ini
tidak membedakan huruf capital dan huruf kecil, tidak ada tanda-tanda untuk
angka, ataupun tanda-tanda baca, kemuduhkan membutuhkan banyak ruang, dan sulit
dipelajari. Tulisan malam ini dirasa hanya efektif untuk menuliskan pesan-pesan
singkat seperti “maju” atau “musuh ada di belakang kita”, tetapi kurang bagus
untuk dibuat buku bagi tunantera. Hal tersebutlah yang melandasi Louis Braille
untuk memodifikasi ciptaan Charles Barbier tersebut menjadi tulisan Braille yang
lebih sempurna yang digunakan oleh penyandang tunanetra kini untuk membaca dan
menulis.
Tulisan Braille dibawa ke Indonesia oleh seorang Belanda pada awal abad ke-20. Braille diajarkan di BLinden Institut, sebuah lembaga tunanetra yang didirikan oleh Dr. Westhoff pada tahun 1901 di Bandung, yang kini lembaga tersebut bernama Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna yang berada di bawah Departemen Sosial RI.
Sabtu, 17 Desember 2016
Mendalami Anak Berkebutuhan Khusus
21.25
1 comment
![]() | |
Anak Berkebutuhan Khusus belajar sambil bermain di Pasir Mukti, Kab. Bogor bersama Bravo via Arsip Bravo |
Mereka ialah Anak Berkebutuhan Khusus. Sekiranya agak rumit
untuk membuat batasan sejauh mana arti dari singkatan ini. Sebab, dalam situasi
tertentu kita ingin menjadi bagian dari ABK, karna seringkali kita merasa memiliki
kebutuhan khusus, bukan?
Konsep dan pemahaman terhadap Anak Berkebutuhan Khusus terus
berkembang sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat. Pemikiran yang
berkembang saat ini, mencoba melihat persoalan Anak Berkebutuhan Khusus dari sudut
pandang yang lebih bersifat humanis, holistik, dan yang terpenting mengenai kebutuhan
individu, bukan lagi atas dasar kekurangan dan ketidakmampuan dari Anak Berkebutuhan
Khusus.
Anak Berkebutuhan Khusus dapat diartikan sebagai anak dengan
hambatan perkembangan dan hambatan belajar, memerlukan pendidikan yang disesuaikan
dengan kebutuhan masing-masing anak. Ya, hambatan. Hal inilah yang menjadikan mereka
menjadi Anak Berkebutuhan Khusus. Hambatan seperti apa kiranya?
Berdasarkan faktor penyebabnya, terdapat 2 klasifikasi untuk
Anak Berkebutuhan Khusus, yaitu ABK yang bersifat sementara (temporer) dan ABK
yang besifat menetap (permanen).
Anak Berkebutuhan Khusus yang bersifat sementara
(temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan
disebabkan oleh faktor-faktor eksternal seperti anak korban bencana alam, anak dengan
trauma kejadian tertentu, dll. Sedangkan Anak Berkebutuhan Khusus yang bersifat
permanen adalah anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan
yang disebabkan faktor internal, diakibatkan langsung dari kondisi yang
dimiliki oleh anak.
Sebagai contoh, anak yang mengalami cedera tangan karena menjadi
korban bencana alam, ia akan kesuitan akses belajar karena ia tidak dapat menulis
sehingga ia menjadi ABK. Jika cedera tangannya sembuh dan ia kembali bisa menulis
maka predikat ABK pada dirinya akan hilang (bersifat sementara), namun jika cedera
tangannya tidak dapat disembuhkan maka ia akan tetap menjadi ABK (bersifat tetap).
Anak Berkebutuhan Khusus bukan berarti tidak memiliki kemampuan
atau keahlian yang lebih baik dari anak pada umumnya. Hanya saja beberapa anak belum
terlihat atau tergali potensi yang dimilikinya. Banyak diantara mereka yang dapat
berkarya dengan hasil yang luar biasa. Yang terpenting, karya mereka takkan benar-benar
terwujud apabila tidak ada suatu dukungan dari lingkungan sekitar dan pemerintah.
Bentuk perhatian pemerintah dapat diwujudkan dengan menyediakan
sarana dan prasarana ABK untuk menyalurkan potensinya, salah satunya dengan layanan
pendidikan yang memadai.
Bagaimana Bentuk Layanan
Pendidikan yang Memadai?
Terdapat tiga macam layanan pendidikan untuk ABK, yaitu Pendidikan
Segregasi, Pendidikan Integrasi, dan Pendidikan Inklusi.
Pertama, Pendidikan
Segregasi atau yang biasa kita lihat pada sistem Sekolah Luar Biasa (SLB),
sistem sekolah ini memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan
reguler.
![]() |
ABK belajar bersama anak pada umumnya via http://11116dvs.blogspot.co.id |
![]() |
sejumlah (ABK) mengikuti lomba menyusun puzzle di Serang, Banten via antaranews.com |
Dalam konsep pendidikan kebutuhan khusus semua anak dipandang
sebagai individu yang unik. Setiap individu anak memiliki perbedaan dalam perkembangan
dan memiliki kebutuhan khusus yang berbeda pula. Diagnosa-diagnosa yang didapat
terkadang menyebabkan anak-anak diberi label ketunaan yang mengakibatkan gurunya
memfokuskan aktivitas layanan pendidikan pada keterbatasan yang disebabkan oleh
ketidakmampuan anak. Ini mengakibatkan guru tidak menyadari potensi yang ada pada
diri anak.
Dalam
konsep Pendidikan Khusus, sangat dihindari penggunaan label ketunaan, akan tetapi
lebih menonjolkan anak sebagai individu yang memiliki kebutuhan yang
berbeda-beda. Dengan demikian layanan pendidikan tidak lagi didasarkan atas
label ketidakmampuan anak, akan tetapi didasarkan pada hambatan belajar yang
dialami dan kebutuhan setiap individu anak untuk dapat mencapai perkembangan
optimal.
Setelah mengetahui dan memahami hal yang berhubungan dengan anak berkebutuhan khusus, sangat diharapkan kita dapat menjadi masyarakat yang inkusif, menerima keberagaman, dan menerima keberadaan mereka.
Putri Nur Asiati
Kamis, 24 November 2016
Aku, Kamu, Mereka = Kita
07.10
No comments
Sebuah keresahan yang sudah membatu membuat saya menulis
sedikit cerita yang menurut sebagian orang tidak penting, tapi ini mendasar
untuk saya ceritakan. Saya meyakini semua pembaca tulisan ini adalah
generasi-generasi terdidik dalam memandang dan menyikapi sesuatu.
Mari kita mulai!
Indonesia merdeka sudah 71 tahun (hari ini), dengan catatan
sejarah yang panjang dalam perjuangan. Bangsa ini tersohor karena memiliki
beragam budaya, suku, bahasa dan manusia. Manusia yang dikenal banyak orang
adalah manusia normal atau manusia pada umumnya. Saya yakin bahwa perjuangan
negara untuk merdeka juga dilakukan oleh orang-orang cacat pada zaman itu (maaf
saya bukan ahli sejarah, tapi boleh yaa berpendapat).
Lalu timbul pertanyaan yang menggelitik tapi cukup mendasar.
Kenapa orang cacat itu tak masuk catatan sejarah?
Mari kita berjalan kebelakang sebentar saja. berada kira-kira pada zaman abad 15 sampai abad 17
(kalau salah tolong koreksinya), dimana pada masa itu ada masa belas kasih, pola
pikir kaum berpikir hanya terpusat pada kasihan, beranjak pada masa
penyantunan, cara berpikir abad ini orang cacat hanya disantuni saja. Karena
budaya berpikir pada masa itu belum secantik sekarang. mungkin hal itu yang
membuat orang cacat tak pernah masuk dalam catatan sejarah.
Lanjut (lagi)!!
Sebagian pembaca mungkin bertanya kenapa saya masih
menggunakan istilah cacat dalam tulisan saya. Iya, sebab saya mencoba membawa pembaca bagaimana melihat
perjalanan kata cacat sampai kepada kata disabilitas. Perjuangan dan penuntutan keadilan para penyandang cacat
sedikit terkabul ketika mereka menyuarakan agar kata cacat itu dihilangkan dan
diganti dengan bahasa yang lebih halus. Hal itu kemudian didengar oleh
pemerintah dan dengan rapat yang cukup banyak menelan uang negara, yang
akhirnya kata cacat dihilangkan, lalu munculah kata disabilitas. Ternyata perjuangan untuk mengganti nama cacat saja butuh
perjuangan, yakni dari pertama merdeka sampai kata disabilitas muncul butuh
waktu yang sangat sangat lama, hingga puluhan tahun bahkan.
Lalu bagaimana
dengan pemenuhan hak?
Berbicara pemenuhan hak berarti berbicara kesetaraan. Oh iya, sang pemikir tua (saya menyebutnya) yang dahulu
membuat UUD 1945 dan pancasila sebagai dasar negara memiliki pemikiran sangat
baik. Pembaca tidak akan menemukan satu kata pun tentang mayoritas atau
minoritas dalam pembukaan UUD.
Haruskah kita membangunkan pemikir tua tadi dari tidurnya untuk
menjelaskan bahwa semua warga negara Indonesia ini sama?
Haruskah penyandang disabilitas ini menuntut kesetaraan terus
menerus sampai negara ini berdiri satu hari sebelum kiamat?
Sangat berat memang. Namun generasi muda tercipta untuk
memutus generasi tua atau pemimpin yang mengacau, sudah saatnya turun tangan
dan berbuat. Untuk merubah generasi tua nampaknya sudah tidak mungkin,
sebab logika berpikir mereka hari ini sudah sangat berbeda.
Pemikiran hari ini adalah hasil dari pemikiran masa lalu,
sedang pemikiran masa depan adalah hasil pemikiran hari ini. Struktur berpikir yang benar akan membuat semua masalah
berujung solusi (Anies Baswedan). Mungkin gagasan ini cocok untuk bagaimana
kita menyelesaikan masalah dengan struktur berpikir. Tugas generasi muda hari
ini adalah membukakan perspektif kepada generasi muda yang lain. Sebab, bangsa
ini akan dipimpin oleh generasi muda nantinya. Perspektif yang kita gaungkan
adalah bagaimana cara pandang kita melihat penyandang disabilitas itu sama
dalam hak sebagai warga negara. Kalau generasi muda yang memimpin nantinya masih sama saja
seperti sekarang, sepertinya penyandang disabiitas akan bekerja ekstra dalam
pemenuhan hak nya. Tan Malaka dalam Madilog pernah berbicara “Perjuangan kaum
yang tertindas akan terus berlanjut ketika penguasa atau penghisap masih ada
dalam pimpinan kekuasaan” kira-kira begitu.
Aku, Kamu, Mereka = Kita
Kata kita memiliki arti yang menyatukan, menyamakan, dll.
Dalam arti berbeda adalah disabilitas akan memiliki kesamaan ketika di tangan
pemimpin yang mampu menyetarakan mereka.
Mari berbuat dengan cara kita masing-masing untuk kesetaraan
disabilitas dan negara.
Ady Syahputra Gultom