Hari Braille diperingati setiap tanggal 4 Januari yang merupakan hari ulang tahun penemu tulisan braille, yaitu Louis Braille. Hari Braille diperingati dalam rangka mengakui kontrubusi Louis Braille dalam membantu tunanetra untuk dapat membaca dan menulis.
![]() |
membaca tulisan braille via britannica.com |
Komunitas
dan organisasi sosial pemerhati disabilitas di seluruh dunia menjadikan hari
ini untuk dengan membuat kepedulian tentang
tantangan yang dihadapi penyandang tunanetra dan mendorong pemerintah untuk menciptakan kesempatan yang sama dalam segala
aspek kehidupan dalam rangka pemenuhan
hak penyandang disabilitas, khususnya penyandang tunanetra.
Untuk
mengenang jasanya yang tak terhingga itu, pada tahun 1956 The World Council for
The Welfare of the Blind (Dewan Dunia untuk Kesejahteraan Tunanetra) menjadikan
bekas rumah kediaman Louis Braille yang terletak di Coupray, 40 km sebelah
timur Paris, sebagai museum Louis Braille.
Tentang Braille
![]() |
alfabet dalam tulisan braille via www.papermasters.com |
Braille adalah merupakan sebuah sistem tulisan yang
terdiri dari enam titik-titik timbul berbentuk “domino” sebagai kerangka sistem
tulisannya. Bentuk sistem tulisan Braille itu yakni tiga titik ke bawah dan dua
titik ke kanan. Untuk memudahkan pendeskripsian, tiga titik di sebelah kiri
diberi nomor 1, 2 dan 3 (dari atas ke bawah), dan tiga titik di sebelah kanan
diberi nomor 4, 5, dan 6. Satu atau beberapa dari enam titik itu divariasikan
letaknya sehingga membentuk sebanyak 63 macam kombinasi yang cukup untuk
menggambarkan abjad, angka, tandatanda baca, matematika, music, dan lain-lain.
Yang mendasari sistem tulisan Braille adalah sistem titik-titik
timbul yang diciptakan oleh Charles Barbier, seorang perwira artileri Napoleon.
Pada tahun 1815, dalam peperangan Napoleon, Barbier menciptakan tulisan sandi
yang terdiri dari titik-titik dan garis-garis timbul yang dinamakannya “tulisan
malam”. Barbier menggunakan tulisan ini untuk memungkinkan pasukannya membaca
perintah-perintah militer dalam kegelapan amlam dengan merabanya melalui
ujung-ujung jari. Barbier menggunakan pola 12 titik yang terdiri dari dua
deretan vertical yang masing-masing terdiri dari enam titik. Titik-titik
tersebut dibuat dengan menusukkan sebuah alat tajam pada kertas tebal yang
diletakkan pada sebuah cetakan dari logam. Alat yang inovatif ini masih bertahan
hingga kini sebagai alat tulis Braille yang paling banyak dipergunakan Di
Indonesia, alat ini disebut “pen” dan “reglet”.
Pada tahun 1920,
Barbier tertarik untuk memperkenalkannya kepada lembaga pendidikan penyandang
tunanetra. Pada awalnya anak-anak tunanetra di lembaga itu sangat senang dengan
tulisan ini, lebih mudah dikneali dengan unjung jari. Tetapi kemudian mereka menyadari
bahwa sistem tulisan mala mini masih memiliki banyak kekurangan. Sistem ini
tidak membedakan huruf capital dan huruf kecil, tidak ada tanda-tanda untuk
angka, ataupun tanda-tanda baca, kemuduhkan membutuhkan banyak ruang, dan sulit
dipelajari. Tulisan malam ini dirasa hanya efektif untuk menuliskan pesan-pesan
singkat seperti “maju” atau “musuh ada di belakang kita”, tetapi kurang bagus
untuk dibuat buku bagi tunantera. Hal tersebutlah yang melandasi Louis Braille
untuk memodifikasi ciptaan Charles Barbier tersebut menjadi tulisan Braille yang
lebih sempurna yang digunakan oleh penyandang tunanetra kini untuk membaca dan
menulis.
Tulisan Braille dibawa ke Indonesia oleh seorang Belanda pada awal abad ke-20. Braille diajarkan di BLinden Institut, sebuah lembaga tunanetra yang didirikan oleh Dr. Westhoff pada tahun 1901 di Bandung, yang kini lembaga tersebut bernama Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna yang berada di bawah Departemen Sosial RI.