Oleh: Denny Abdurrachman
JAKARTA,
BRAVO FOR DISABILITIES – Pemerintah Indonesia berupaya mewujudkan Indonesia
sebagai negara yang ramah terhadap disabilitas. Sesuai Dalam UU No. 28 tahun
2002 dan PP No. 36 tahun 2005 tentang Bangunan Gedung diamanatkan bahwa setiap
bangunan gedung kecuali rumah tinggal dan rumah deret sederhana harus
disediakan fasilitas dan aksesibilitas untuk menjamin terwujudnya kemudahan
bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia untuk masuk, keluar dan
beraktifitas dalam bangunan gedung yang memenuhi persyaratan kemudahan,
kenyaman, keamanan dan kemandirian. Berdasarkan UU No. 28
tahun 2002 dan PP No. 36 tahun 2005 tentang Bangunan Gedung tersebut, maka
Pemerintah wajib menyediakan fasilitas yang aksesibel bagi penyandang
disabilitas. Oleh karena itu dalam beberapa waktu terakhir pemerintah banyak
melakukan pembenahan dan pembangunan eleman aksesibilitas Sebagai perwujudan keadilan dan
persamaan kesempatan bagi penyandang
disabilitas, elemen aksesibilitas dalam Bangunan Gedung tersebut
diantaranya adalah ram, area parkir khusus penyandang disabiitas,
toilet, lift suara, dan guiding block.
Untuk
pembangun guiding block, kita sepatutnya mengapresiasi upaya pemerintah
tersebut. Terlihat bahwa saat ini banyak dilakukan pembangunan guiding block di
jalan-jalan protokol ibukota, dan beberapa daerah lainnya.
Seperti
kita ketahui bersama guiding block adalah jalur khusus untuk penyandang
tunanetra di trotoar. Guiding block ini dibuat dengan dasar yang memiliki kontur tertentu sehingga mudah dikenali oleh
penyandang tunanetra dan tongkatnya. Jalur ini merupakan standar internasional
untuk membantu disabilitas netra untuk dapat berjalan di trotoar berdampingan dengan
pejalan kaki
lain.
Di
trotoar yang lurus, guiding block memiliki kontur yang biasanya terdiri atas
empat garis. Guiding block yang bergelombang memperingatkan penyandang
tunanetra bahwa didepannya ada persimpangan. Guiding block dengan bulatan-butan
kecil disebut juga warning block menandakan adanya area berbahaya, misalnya
jalur masuknya mobil ke gedung seperti kantor/pusat perbelanjaan.
Namun
dalam upaya pemerintah membangun elemen aksesibitas guiding block , sayangnya acapkali
kita menemui kekecewaan. Bahwasanya pemasangan guiding block tidak dilakukan dengan
serius dan berkesan asal jadi. Contohnya
bisa dilihat di Jalan Jenderal Gatot Subroto.
Sebagian
besar guiding block sudah terpasang sesuai yang seharusnya. Ketika jalanan
menurun, guiding block bertitik-titik sudah tepat dipasang di trotoar. Ketika
di depan tak ada halangan, guiding block lurus yang dipasang.
Namun
di beberapa titik, masih ada beberapa guiding block yang dipasang tidak tepat.
Ada satu titik di depan Wisma Mulia di mana tidak ada guiding block titik-titik
yang terpasang padahal persis di depannya ada tiang listrik. Jika kurang awas,
bisa saja seorang tuna netra menabrak tiang itu karena membaca petunjuk yang
salah.
Selain
di depan Wisma Mulia, kesalahan pemasangan guiding block juga terjadi di Jalan
S. Parman. Berdasarkan laporan Arief Kurniawan di situs lapor.ukp.go.id ia
melihat guiding block dipasang asal-asalan.
Selain
masalah salah pasang, guiding block di trotoar Jakarta juga banyak yang rusak.
Tak terkecuali di Jalan Jend. Gatot Subroto yang notabene umurnya belum sampai empat bulan. Retak minor adalah kerusakan paling kecil, sementara retak
parah atau bahkan hilang banyak terdapat di trotoar Jalan Jenderal Sudirman.
Ketidaktahuan
masyarakat akan fungsi guiding block diduga menjadi penyebab utamanya. Pada
jam-jam macet, jamak ditemui pengendara motor yang melindas guiding block
karena jalur di Jalan Jend. Sudirman macet parah.
Hal
tersebut menimbulkan kesan bahwa pemerintah tidak serius dalam mewujudkan
Indonesia yang ramah terhadap disabilitas. Seharusnya pembuatan-pembuatan
guiding block perlu dikaji dan berkonsulltasi dengan banyak pihak, diantaranya
penyandang disabilitasnya itu sendiri. Sehingga pengadaan untuk guiding block
dapat tepat sasaran, dan bermanfaat untuk disabilitas.
Selanjutnya
juga hal tersebut memunculkan angin segar untuk melaksanakan aksesibilitas di
Indonesia, ketika Pemerintah Indonesia merativikasi konvensi hak-hak Penyandang
Disabilitas (Convention on The Rights of Person With Disabilities) yang
dituangkan menjadi Undang-undang RI No. 19 Tahun 2011, Kalau dilihat
aturannya sudah sangat tegas bahwa aksesibilitas adalah mutlak tanggung jawab
negara, namun sekali lagi ini tergantung dari political will pemerintah dalam pemenuhan
aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia, sehingga aturan yang
ada tidak hanya menjadi sebatas aturan diatas kertas namun ada implementasinya.