Rapat Kerja Pengurus Bravo 2013-2015

Para pengurus Bravo sedang berkumpul dengan duduk melingkar di Anjungan Nusa tenggara barat (NTB) TMII, 29-30 desember 2012.

Peringatan hari Disabilitas internasional se-Jabodetabek

Volunteer Bravo sedang berdiskusi untuk membantu kawan-kawan disabilitas

Peringatan hari Disabilitas Internasional se-Jakarta

Kawan-kawan disabilitas sedang jalan sehat dari Monas - Bundaran Hotel Indonesia (HI)

Selalu semangat untuk kawan-kawan disabilitas

Rani Aziz, Koordinator umum sedang berdiskusi dengan Bimo Wahyudi, Koordinator harian bravo

Volunteer Bravo Bersama Barrier free turism

Sedang membantu kawan disabilitas daksa menaiki tangga di stasiun cikini yang tidak akses

Sabtu, 17 Januari 2015

Setengah Hati Pemerintah dalam Pemasangan Guiding Block





Oleh: Denny Abdurrachman


JAKARTA, BRAVO FOR DISABILITIES – Pemerintah Indonesia berupaya mewujudkan Indonesia sebagai negara yang ramah terhadap disabilitas. Sesuai Dalam UU No. 28 tahun 2002 dan PP No. 36 tahun 2005 tentang Bangunan Gedung diamanatkan bahwa setiap bangunan gedung kecuali rumah tinggal dan rumah deret sederhana harus disediakan fasilitas dan aksesibilitas untuk menjamin terwujudnya kemudahan bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia untuk masuk, keluar dan beraktifitas dalam bangunan gedung yang memenuhi persyaratan kemudahan, kenyaman, keamanan dan kemandirian. Berdasarkan UU No. 28 tahun 2002 dan PP No. 36 tahun 2005 tentang Bangunan Gedung tersebut, maka Pemerintah wajib menyediakan fasilitas yang aksesibel bagi penyandang disabilitas. Oleh karena itu dalam beberapa waktu terakhir pemerintah banyak melakukan pembenahan dan pembangunan eleman aksesibilitas  Sebagai perwujudan keadilan dan persamaan kesempatan bagi penyandang disabilitas, elemen aksesibilitas dalam Bangunan Gedung tersebut diantaranya adalah ram, area parkir khusus penyandang disabiitas, toilet, lift suara, dan guiding block


Untuk pembangun guiding block, kita sepatutnya mengapresiasi upaya pemerintah tersebut. Terlihat bahwa saat ini banyak dilakukan pembangunan guiding block di jalan-jalan protokol ibukota, dan beberapa daerah lainnya.


Seperti kita ketahui bersama guiding block adalah jalur khusus untuk penyandang tunanetra di trotoar. Guiding block ini dibuat dengan dasar yang memiliki kontur tertentu sehingga mudah dikenali oleh penyandang tunanetra dan tongkatnya. Jalur ini merupakan standar internasional untuk membantu disabilitas netra untuk dapat  berjalan di trotoar berdampingan dengan pejalan kaki lain.


Di trotoar yang lurus, guiding block memiliki kontur yang biasanya terdiri atas empat garis. Guiding block yang bergelombang memperingatkan penyandang tunanetra bahwa didepannya ada persimpangan. Guiding block dengan bulatan-butan kecil disebut juga warning block menandakan adanya area berbahaya, misalnya jalur masuknya mobil ke gedung seperti kantor/pusat perbelanjaan.


Namun dalam upaya pemerintah membangun elemen aksesibitas guiding block , sayangnya acapkali kita menemui kekecewaan. Bahwasanya pemasangan guiding block tidak dilakukan dengan serius dan berkesan asal jadi. Contohnya bisa dilihat di Jalan Jenderal Gatot Subroto.


Sebagian besar guiding block sudah terpasang sesuai yang seharusnya. Ketika jalanan menurun, guiding block bertitik-titik sudah tepat dipasang di trotoar. Ketika di depan tak ada halangan, guiding block lurus yang dipasang.


Namun di beberapa titik, masih ada beberapa guiding block yang dipasang tidak tepat. Ada satu titik di depan Wisma Mulia di mana tidak ada guiding block titik-titik yang terpasang padahal persis di depannya ada tiang listrik. Jika kurang awas, bisa saja seorang tuna netra menabrak tiang itu karena membaca petunjuk yang salah.


Selain di depan Wisma Mulia, kesalahan pemasangan guiding block juga terjadi di Jalan S. Parman. Berdasarkan laporan Arief Kurniawan di situs lapor.ukp.go.id ia melihat guiding block dipasang asal-asalan.


Selain masalah salah pasang, guiding block di trotoar Jakarta juga banyak yang rusak. Tak terkecuali di Jalan Jend. Gatot Subroto yang notabene umurnya belum sampai empat bulan. Retak minor adalah kerusakan paling kecil, sementara retak parah atau bahkan hilang banyak terdapat di trotoar Jalan Jenderal Sudirman.


Ketidaktahuan masyarakat akan fungsi guiding block diduga menjadi penyebab utamanya. Pada jam-jam macet, jamak ditemui pengendara motor yang melindas guiding block karena jalur di Jalan Jend. Sudirman macet parah.


Hal tersebut menimbulkan kesan bahwa pemerintah tidak serius dalam mewujudkan Indonesia yang ramah terhadap disabilitas. Seharusnya pembuatan-pembuatan guiding block perlu dikaji dan berkonsulltasi dengan banyak pihak, diantaranya penyandang disabilitasnya itu sendiri. Sehingga pengadaan untuk guiding block dapat tepat sasaran, dan bermanfaat untuk disabilitas.


Selanjutnya juga hal tersebut memunculkan angin segar untuk melaksanakan aksesibilitas di Indonesia, ketika Pemerintah Indonesia merativikasi konvensi hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention on The Rights of Person With Disabilities) yang dituangkan menjadi Undang-undang RI No. 19 Tahun 2011, Kalau dilihat aturannya sudah sangat tegas bahwa aksesibilitas adalah mutlak tanggung jawab negara, namun sekali lagi ini tergantung dari political will pemerintah dalam pemenuhan aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia, sehingga aturan yang ada tidak hanya menjadi sebatas aturan diatas kertas namun ada implementasinya.




Minggu, 04 Januari 2015

4 Januari, Peringatan Hari Braille Internasional

 

JAKARTA, BRAVO FOR DISABILITIES - Tepat pada tanggal 4 Januari 206 tahun silam merupakan tanggal yang sangat istimewa bagi tunanetra. Di hari itu lahirlah seorang manusia berkebangsaan Perancis yang tak lain dan tak bukan ialah pencipta suatu tulisan yang hingga kini selalu digunakan oleh tunanetra dalam hal menulis dan membaca. Louis Braille namanya, sangat harum dan sangat terkenang namahnya oleh masyarakat luas, terutama tunanetra. karena berkat beliau, tunanetra di seluruh dunia dapat belajar membaca dan menulis, dan oleh karehanya dapat mengenyam pendidikan sebagaimana rekan-rekannya yang awas melalui Tulisan Braille.

Sistem tulisan Braille pertama kali digunakan di L’Institution Nationale des Jeunes Aveugles, Paris, dalam rangka mengajar siswa-siswa tuna netra. Namun terdapat beberapa masalah dalam penggunaan huruf braille bagi tunanetra tersebut. Karena sistem baca dan penulisan yang tidak lazim, sulit untuk meyakinkan masyarakat mengenai kegunaan dari huruf Braille bagi kaum tuna netra.

Salah satu penentang tulisan Braille adalah Dr. Dufau, asisten direktur L’Institution Nationale des Jeunes Aveugles. Dufau kemudian diangkat menjadi kepala lembaga yang baru. Untuk memperkuat gerakan anti-Braille, semua buku dan transkrip yang ditulis dalam huruf Braille dibakar dan disita. Namun dikarenakan perkembangan murid-murid tuna netra yang begitu cepat sebagai bukti dari kegunaan huruf Braille, menjelang tahun 1847 sistem tulisan tersebut diperbolehkan kembali.

Pada tahun 1851 tulisan Braille diajukan pada pemerintah negara Perancis agar diakui secara sah oleh pemerintah. Sejak saat itu penggunaan huruf Braille mulai berkembang luas hingga mencapai negara-negara lain. Pada akhir abad ke-19 sistem tulisan ini diakui secara universal dan diberi nama ‘tulisan Braille’. Di tahun 1956, Dewan Dunia untuk Kesejahteraan Tuna Netra (The World Council for the Welfare of the Blind) menjadikan bekas rumah Louis Braille sebagai museum. Kediaman tersebut terletak di Coupvray, 40 km sebelah timur Paris. Sistem tulisan Braille mencapai taraf kesempurnaan di tahun 1834.

Huruf-huruf Braille menggunakan kerangka penulisan seperti kartu domino. Satuan dasar dari sistem tulisan ini disebut sel Braille, di mana tiap sel terdiri dari enam titik timbul; tiga baris dengan dua titik. Keenam titik tersebut dapat disusun sedemikian rupa hingga menciptakan 64 macam kombinasi. Huruf Braille dibaca dari kiri ke kanan dan dapat melambangkan abjad, tanda baca, angka, tanda musik, simbol matematika dan lainnya. Ukuran huruf Braille yang umum digunakan adalah dengan tinggi sepanjang 0.5 mm, serta spasi horizontal dan vertikal antar titik dalam sel sebesar 2.5 mm.

Setelah bertahun-tahun penggunaan huruf braille bagi tunanetra, namun masih saja banyak problematika yang dihadapi tunanetra dalam berpartisipasi di masyarakat. Seperti kita ketahui bahwa meskipun huruf braille telah lama digunakan, namun belum banyak buku-buku yang pengadaannya menggunakan tulisan braille.  

Untuk disabilitas netra, buku braille adalah kunci literasi. Sekarang ini, hukum hak cipta mengharuskan sekolah untuk mendapatkan izin untuk mereproduksi buku yang aksesibel dengan menggunakan braille, atau cetakan dengan ukuran besar. Jika Negara tidak mempunyai pengecualian tentang penggunaan hak cipta bagi tunanetra,  hal tersebut dapat membatasi akses tunanetra terhadap pendidikan dan menyingkirkan akses tunanetra terhadap buku-buku dan materi pembelajaran yang ia butuhkan.

Selain itu  di sekolah-sekolah penyelenggara sekolah inklusi di Indonesia yang terdapat tunanetranya, masih terdapat banyak kasus peserta didik yang memiliki hambatan penglihatan tidak diberikan soal bertuliskan huruf braille ketika menghadapi ujian nasional. Hal itu menyebabkan mereka harus mengandalkan guru pendamping atau pengawas ujian, untuk membacakan soal-soal. Pihak sekolah menyayangkan, tidak adanya huruf braille, sebagai bentuk diskriminasi terhadap siswa berkebutuhan khusus. 

Dalam hal partisipasi politik, disabilitas netra masih banyak mengalami diskriminasi. di antaranya adalah banyak terdapat kasus belum meratanya distribusi alat bantu surat suara untuk tunanetra yang biasa disebut template.. Hal itu menyebabkan banyak pemilih disabilitas, khususnya  tunanetra yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya pada pesta demokrasi lima tahunan tersebut.   "Banyak tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tidak menyediakan template surat suara, meski pada DPT tercantum pemilih tuna netra," kata Setiyaningsih Budi Lestari selaku Ketua LSM Center for Improving Qualified Activity in Life of People with Disabilities (CIQAL), Rabu (11/6/2014). 

Pada tahun 2014, Pemerintah dan DPR RI telah menerbitkan Undang-Undang nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang merupakan pengganti Undang-Undang nomor 19 tahun 2002. Dalam Undang-undang hak cipta Indonesia, pencetakan buku untuk tunanetra telah diatur di dalamnya. Pada Undang-Undang nomor 28 tahun 2014, pengaturan itu ada pada pasal 44 ayat 2, yang berbunyi:“Fasilitasi akses atas suatu Ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat komersial.”

Mengacu pada aturan tersebut, lembaga yang menyediakan informasi aksessibel dalam bentuk buku bagi tunanetra, tidak perlu meminta ijin kepada pemegang hak cipta. Yang perlu menjadi catatan, pembuatan buku versi aksessibel itu dilakukan dengan menyebutkan sumbernya secara lengkap, siapa penulisnya, penerbitnya, cetakan ke berapa dan tahun berapa, dan kegiatan tersebut tidak bersifat komersial.

Namun demikian, aturan ini masih harus disosialisasikan. Dibutuhkan panduan yang lebih rinci, untuk membuat penulis dan penerbit lebih memahaminya. Untuk itu, perlu langkah pro aktif dari Pemerintah, dalam hal ini adalah direktorat Hak kekayaan Intelektual, serta dukungan komunitas penerbit yang tergabung dalam Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), serta para penulis. Bagaimanapun, Hak Membaca adalah hak asasi manusia yang penting bagi semua orang, tak terkecuali para penyandang tunanetra. 


Dalam peringatan Hari Braille Sedunia, kami mengajak semua orang untuk dapat mengawal pemerintah dalam kaitannya bahwa Hak untuk Membaca adalah salah satu hak asasi manusia. Dengan mendorong untuk menandatangani dan meratifikasi Perjanjian Marrakesh (Perjanjian tentang Fasilitasi Akses untuk menerbitkan karya-karya untuk Tunanetra, orang dengan Gangguan Penglihatan). -Keterbatasan Bukan Berarti Dunia Terbatas-