Rapat Kerja Pengurus Bravo 2013-2015

Para pengurus Bravo sedang berkumpul dengan duduk melingkar di Anjungan Nusa tenggara barat (NTB) TMII, 29-30 desember 2012.

Peringatan hari Disabilitas internasional se-Jabodetabek

Volunteer Bravo sedang berdiskusi untuk membantu kawan-kawan disabilitas

Peringatan hari Disabilitas Internasional se-Jakarta

Kawan-kawan disabilitas sedang jalan sehat dari Monas - Bundaran Hotel Indonesia (HI)

Selalu semangat untuk kawan-kawan disabilitas

Rani Aziz, Koordinator umum sedang berdiskusi dengan Bimo Wahyudi, Koordinator harian bravo

Volunteer Bravo Bersama Barrier free turism

Sedang membantu kawan disabilitas daksa menaiki tangga di stasiun cikini yang tidak akses

Sabtu, 05 Januari 2013

Quo Vadis disabilitas


ANDAIKAN dunia ini adalah sebuah narasi nan panjang, yang mana pelbagai kisah, cerita, tercatat, maka kita tak lebih dari eksakta-eksakta kecil yang bergumal pada ruang dan waktu. Yang kemudian termaktub dalam kitab besar kehidupan. Didalamnya; diruntut dan dipilah-pilah untuk dikelompokan menjadi beberapa bagian, ‘Narasi besar’ dipisahkan dengan ‘narasi kecil, lalu dibagi lagi menjadi lakon gagah dan lakon ringkih, dst. Dari sini; kisah tentang Disabilitas bermula.

Meski agaknya disabilitas bukanlah sekedar narasi, apalagi sebatas wacana yang mengusik telinga kita. Disabilitas adalah sebuah realitas. Atau fenomena keseharian yang terkadang luput dari pengamatan inderawi kita. lantaran sebenarnya disabilitas kerap kali hadir, entah ia sebagai si cacat, si pincang, si buta, si budeg, si dungu, si gila, dan entah “si”-apa lagi. Cobalah tengok di pasar-pasar, di terminal-terminal, dalam kereta, perempatan jalan, dan di tempat-tempat ‘komunal’ lainnya. pasti akan dengan mudah bertemu ‘si cacat’ ini. Atau dalam ragam profesi, disabilitas kerap kita kenal sebagai si peminta, si pengemis atau si tukang pijat ‘berijazah’.

Label disabilitas itu ‘diciptakan’. Yang mulanya adalah sebuah mitos. sejarah mencatat, militer Yunani kuno dan Roma telah berupaya menyingkirkan ‘si cacat’ ini, jauh sebelum Hitler pada kurun 1940an melakukan pembantaian masal terhadap mereka, demi menjaga ‘kesucian’ ras Arya. Sebentuk modus ‘operasi’ atas nama moralisasi agama dan budaya yang memitoskan ‘si cacat’ lahir dari sebuah ‘kutukan’, akibat dosa yang harus ditanggung. Sejurus kemudian, disabilitas pun dilekati stereotipe negatif oleh medikalisasi para ahli medis, yang pada tahun 1977 sempat dihujat oleh Ivan illich, lantaran mengangap disabilitas ‘berpenyakitan’. Pendeknya, disabilitas ‘muncul’ sebagai defaluasi simbol melalui pengkategorian sebagai Yang-lain.

Yang pasti disabilitas itu ‘dekat’ dengan penindasan. Yang menurut Iris Marison Young, tak jauh pula dari eksploitasi, marginalisasi, pelemahan, imperalisme kultural, dan juga kekerasan. Kelas sosial lalu terbentuk, lahir penindas dan petindas. Dan lagi-lagi disabilitas harus menjadi si kecil pula. kelas menjadikan mereka ringkih, lemah dan kehilangan ruang gerak untuk hidup atau sekedar menunjukkan eksistensi. Arsitektural, mobilitas, pendidikan, pekerjaan, legal dan legitimasi akan menjadi balada baru bagi disabilitas. Atau setidaknya batu sandungan yang melelahkan. Yang acap kali memaksa mereka ‘berdiam diri’. Pada akhirnya; berteman dengan fatalisme sebagai ‘arus kecil’ adalah pilihan yang realistis. Pula, ‘menentramkan’.

Tragedi disabilitas adalah tragedi pluralisme. Tapi jauh sebelum wacana pluralisme mencuat pada era postmo, Hegel telah membuat catatan tentang ‘pluralitas’ melalui prinsip negativitas dan kontradiksi-nya. Bahwa, realitas itu penuh kontradiksi. Dalam universal selalu hadir partikular. Pula, ketika ada mayoritas maka terbentuk sekelompok kecil lain sebagai minoritas. Karenanya; segala sesuatu memperoleh identitas sebagai ‘yang normal’ atau ‘yang sempurna’ itu berangkat dari rangkaian relasi negatif tak terhingga dengan segala satuan lain. Yakni, dari ‘yang tidak normal’ atau ‘yang cacat’. Itulah pluralisme.

Namun masalah disabilitas tak sebatas pluralitas semata, atau penerimaan sebagai ‘bukan’ identitas Yang-lain saja. ia jauh meruntut, berbenturan dengan mitos-mitos agama, norma budaya dalam masyarakat kita, stigma serta stereotif negatif yang terlanjur diwacanakan oleh kaum medis, dan ‘cap buruk’ lainnya yang membetuk cercle vicieux bagi disabilitas. Pengalaman kita sebagai bangunan dari proses sosial, historik, kulturasi, ekonomis, dan politis, yang kemudian berafiasi sebagai pengetahuan telah membentuk kosep identitas negatif disabilitas dalam benak kita, entah itu sebagai si cacat, si buta atau lainnya.
Dekonstruksi budaya
Politik kesadaran menjadi semacam pintu pengharapan. Berbicara kesadaran berarti kita berbicara tentang cara pandang, cara hidup dan idealitas, serta pengakuan akan realitas. Artinya memahami disabilitas berarti kita harus berangkat dari sikap bahwa disabilitas adalah sebuah fakta sosial. Yang dalam konsepsi sosiolog Emile Durkheim fakta sosial bukanlah fenomena psikologi karena ia berada diluar kekuasaan sadar seorang individu. Masalah disabilitas bukan lagi masalah personal, akan tetapi telah menjadi masalah sosial, itu sama artinya kita harus memandang persoalan disabilitas secara utuh dan menyeluruh.

Dari situ; pendidikan pembebasan dan penyadaran menjadi modal awal. Dan Paulo Freire menjanjikan hal ini. Lewat pedagogik kritisnya, Freire menawarkan proses pembebasan yang memiliki dua fase; Kesadaran kritis dan praksis kritis. Kesadaran kritis membangun ‘kesungguhan’ kita -juga disabilitas sendiri- bahwa meraka memiliki identitas politik serta peran sosial. Kesadaran kritis adalah proses pembebasan itu sendiri. Tapi setelah itu bertaut pada fase kedua, yakni praktis. kesadaran kritis memerlukan praktis kritis melalui jalan dialektis,

Dan ketika kesadaran kritis telah terbentuk, akan merangsang sebuah ‘gerakan sosial’ terhadap disabilitas. Lalu muaranya adalah terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat yang inklusif (inklusive society). Sebentuk tatanan masyarakat yang mengakui pluralisme (keberagaman) sebagai sebentuk ‘pengakuan’ akan perbedaan, memandang equity (kesetaraan) hak dan kewajiban bagi disabilitas, lalu menghargai dignity (martabat) para disabilitas bukan sebagai ‘yang-lain’, dan yang terakhir memberikan kesempatan active pertisipation (partisipasi aktif) yang sama bagi para disabilitas. Pada akhirnya, sebentuk kesadaran menjanjikan pengakuan; Bhineka tunggal ika tana hana dharma mangrwa.

Selasa, 01 Januari 2013

Selayang pandang

Bravo For Disabilities adalah salah satu komunitas yang peduli dengan sahabat-sahabat penyandang disabilitas yang ada disekitar lingkungan , terbentuk pada tanggal  20 Februari 2005 dengan nama awal Bravo Penca (Barisan Volenteer Penyandang Cacat) dan berubah nama menjadi Bravo for Disabilitas pada tanggal 2 mei 2010. Perubahan nama ini dilandasi dengan perubahan sebutan Penyandang Cacat dengan Penyandang Disabilitas, dan oleh sebab itu nama Bravo berubah menjadi Bravo for Disabilitas dengan mengusung arti BRAVO adalah sebuah semangat dan for Disabilities menunjukan bahwa kami memperjuangkan hak-hak dan membantu ke penyadang disabilitas.

Slogan dari Bravo yakni Keterbatasan bukan berarti dunia terbatas ini menunjukan bahwa keberadaan penyadang disabilitas sebagai bagian dari masyarakat, yang hidup berdampingan  dan memiliki hak serta kewajiban yang sama dengan masyarakat lainnya tanpa terkecuali. Keterbatasan lingkungan fisik yang tidak ramah bagi penyandang cacat seringkali membawa kesulitan bagi mereka dalam melakukan aktivitas kehidupannya. Di sinilah Tuhan menunjukkan sebuah nilai moral bahwa pada dasarnya setiap “kita” adalah volunteer bagi orang lain di sekitarnya. Dan dalam kaitannya dengan penyandang disabilitas, sebagai seorang  volunteer, kita berupaya untuk menciptakan kemudahan-kemudahan yang memungkinkan penyandang disabilitas melakukan aktivitasnya dan mendapatkan haknya untuk menikmati fasilitas-fasilitas kehidupan, baik fasilitas fisik maupun non fisik yang dapat diperoleh masyarakat pada umumnya.

Dalam komunitas ini kami mengajak teman-teman yang peduli dengan para penyandang disabilitas untuk membantu mereka yang memiliki keterbatasan sehingga memerlukan bantuan kami agar  hambatan yang mereka alami dapat diminimalisir.  Semenjak berdiri pada tahun 2005, Bravo for Disabilities telah beranggotakan sekitar 90 orang yang terdiri dari kalangan mahasiswa, siswa, guru, dan masyarakat umum lainnya.  Dan sejak dari awal berdiri hingga saat ini kami telah menjalin hubungan baik dengan organisasi-organisasi penyandang disabilitas serta mengirimkan volunteer pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh organisasi penyandang disabilitas. Selain itu kami juga memberikan paket wisata edukatif tujuannya agar para penyandang disabilitas yang masih sekolah dapat memperoleh pengetahuan dan menikmati tempat-tempat wisata yang ada disekitar kita selain itu tujuan dari paket wisata memberi kritik membangun kepada pengelola tempat wisata agar memperhatikan sarana dan prasarana yang ada pada tempat wisata tersebut agar akses dan dapat dinikmati oleh para penyandang disabilitas.

Dalam hal pengiriman  volunteer kami tidak membebankan pada organisasi penyandang disabilitas untuk membayar volunteer Bravo For Disabilities pada kegiatan mereka, pengiriman volunteer kami lakukan sebagai wujud solidaritas kita kepada para penyandang disabilitas. Agar mereka dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki dari kegiatan yang mereka lakukan. Saat ini pengiriman volunteer baru dapat kami lakukan pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh organisasi penyandang disabilitas belum pada individual penyandang disabilitas.

Sosialisasi kampanye kepedulian telah banyak kami lakukan baik melalui kunjungan kampus, media internet  serta kunjungan dengan pihak-pihak yang memiliki kewengan dalam membuat keputusan dalam pemerintahan. Selain itu untuk saling melengkapi informasi kami  juga membangun jaringan dalam kota, luar kota ataupun luar negeri tentang penyandang disabilitas baik dari organisasi penyandang disabilitas ataupun pemerhati penyandang disabilitas.

Untuk menghasilkan volunteer yang profesional kami memberikan pelatihan tentang hal-hal yang berkaitan dengan penyandang disabilitas seperti bahasa isyarat, braile, orientasi dan mobilitas serta penggunaan alat-alat bantu bagi penyandang disabilitas.

Syarat Keanggotaan :
-          Laki-laki / perempuan
-          Memiliki jiwa sosial yang tinggi untuk membantu sesama (penyandang disabilitas)
-          Memiliki ketertarikan akan isu-isu kecacatan
-          Bersedia membantu tanpa imbalan/pamrih

Seketariat:
Jl.raya tanjung barat rt 013 rw 004 no 124, jagakarsa, jakarta selatan, 12530 tlp 021 90427262