Rapat Kerja Pengurus Bravo 2013-2015

Para pengurus Bravo sedang berkumpul dengan duduk melingkar di Anjungan Nusa tenggara barat (NTB) TMII, 29-30 desember 2012.

Peringatan hari Disabilitas internasional se-Jabodetabek

Volunteer Bravo sedang berdiskusi untuk membantu kawan-kawan disabilitas

Peringatan hari Disabilitas Internasional se-Jakarta

Kawan-kawan disabilitas sedang jalan sehat dari Monas - Bundaran Hotel Indonesia (HI)

Selalu semangat untuk kawan-kawan disabilitas

Rani Aziz, Koordinator umum sedang berdiskusi dengan Bimo Wahyudi, Koordinator harian bravo

Volunteer Bravo Bersama Barrier free turism

Sedang membantu kawan disabilitas daksa menaiki tangga di stasiun cikini yang tidak akses

Jumat, 22 Maret 2019

Hari Down Syndrome Sedunia: Leave No One Behind


Tak ada yang berbeda ketika manusia dilahirkan ke bumi. Tuhan telah menciptakan makhluknya dengan begitu indah, kondisi yang indah sama-sama mampu dicapai dengan ukuran yang sama, tak ada yang terlahir lebih inferior maupun menjadi yang superior di antara manusia di bumi. Terlahir dengan kelainan genetik yang berdampak pada terhambatnya pertumbuhan fisik dan mental. Bukan menjadi alasan untuk manusia memberikan posisi dan status yang berbeda bagi masyarakat dengan down syndrome. Acapkali anak-anak down syndrome distigma sebagai anak idiot yang tidak bisa terdidik sehingga mereka dibiarkan dan tidak disekolahkan oleh keluarganya. Demikian pula akses ke dunia sekolah. Sekolah-sekolah reguler belum tentu mau menerima, sementara jika disekolahkan di SLB, beberapa kasus terkait dengan sistem dan pola ajar menimbulkan kekecewaan. Memang, mereka terlahir dengan keseragaman, wajahnya hampir sama, banyak orang juga menyebut sebagai anak seribu wajah. Lantas apakah tepat jika itu dijadikan alasan mata kalian mendelik ketika melihat mereka, seolah-olah mereka bagian lain dari penduduk bumi ini? Berhentilah memandang masyarakat dengan down syndrome dengan tatapan remeh dan sinismu. Mereka adalah bagian dari kita. Jika kita butuh diperhatikan, mereka juga. Jika kita butuh diberi kepercayaan, mereka juga. Jika kita butuh diberi kesempatan, mereka juga. Masyarakat dengan Down Syndrome butuh kesempatan untuk menjalani kehidupan yang memuaskan dan setara dengan orang lain di semua aspek masyarakat. Bisa hidup mandiri, berguna bagi dirinya sendiri, juga membahagiakan orang lain. Bisa bersosialisasi dengan sekitarnya, diterima di mana pun dia berada. Mereka akan hidup. Sampai satu waktu, mimpi kita akan terwujud. Kita sama-sama saling bergandengan. Saling memapah untuk menghadapi dunia. Saling menguatkan jika hidup terasa tidak adil. Saling memberi supaya menjadi manusia seutuhnya. Juga saling merangkul agar tak ada lagi yang tertinggal. Akhir kata, selamat memperingati tanggal 21 Maret, selamat memperingari hari ‘Down Syndrome’ sedunia, selamat memperingati hari kebaikan sejagad raya!

Kamis, 07 Maret 2019

PEMILU dan KEBUTUHAN KAMI


Halo Sahabat Disabilitas, kembali lagi bersama BRAVO FOR DISABILITIES.




Beberapa hari kemarin ada tuh Debat Capres dan Cawapres yang membahas tentang Disabilitas, Kalian nonton ga?

Inti dari pembicaraan itu adalah bagaimana Pemenuhan Hak para Penyandang Disabilitas, dimulai dari isu-isu disabilitas, kesejahteraan, fasilitas public serta hak-hak politik yang dimiliki para penyandang disabilitas.

Hasil Debat malam itu ialah adanya perubahan Paradigma dari ‘kasihan’ atau Charity Based yang harus diberikan bantuan ini dan itu, tetapi yang sekarang adalah ‘Pemenuhan Hak’ atau Social Based yaitu upaya yang dilakukan untuk memenuhi, melaksanakan, dan mewujudkan hak Penyandang Disabilitas, sehingga para Penyandang Disabilitas bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya secara mandiri, bahkan menjalankan kewajibannya sebagai Warga Negara dengan mandiri, baik dan lancar.

Label ‘kasihan’ dan label negatif-negatif ini harus dihapuskan karena Penyandang Disabilitas tidak membutuhkan itu, tetapi membutuhkan ‘kesetaraan’. Hal ini menyuratkan bahwa kita harus menyamakan perlakuan pada disabilitas ataupun non-Disabilitas dengan ‘penghormatan’ yaitu sikap menghargai atau menerima keberadaan Penyandang Disabilitas dengan segala hak yang melekat agar tidak terjadi iri hati dan kebencian satu sama lain. Ingatlah bahwa KETERBATASAN BUKAN BERARTI DUNIA TERBATAS.

Yang dimaksud dengan ‘kesetaraan’  ini adalah kondisi di berbagai sistem dalam masyarakat dan lingkungan, seperti pelayanan, kegiatan, informasi dan dokumentasi yang dibuat dapat mengikutsertakan  semua orang termasuk Penyandang Disabilitas.  Sehingga timbul ‘Kesamaan Kesempatan’ yaitu keadaan yang memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada Penyandang Disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat.

Berbicara tentang Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, sebagaimana sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 Pasal 5, yang isinya
Penyandang Disabilitas memiliki hak:
a. hidup;
b. bebas dari stigma;
c. privasi;
d. keadilan dan perlindungan hukum;
e. pendidikan;
f. pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi;
g. kesehatan;
h. politik;
i. keagamaan;
j. keolahragaan;
k. kebudayaan dan pariwisata;
l. kesejahteraan sosial;
m. Aksesibilitas;
n. Pelayanan Publik;
o. Pelindungan dari bencana;
p. habilitasi dan rehabilitasi;
q. Konsesi;
r. pendataan;
s. hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat;
t. berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi;
u. berpindah tempat dan kewarganegaraan; dan
v. bebas dari tindakan Diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi.

Dua Puluh Dua Hak itulah yang benar-benar dibutuhkan oleh para Penyandang Disabilitas, melihat dari hak-hak tersebut dapat kita saksikan bahwa hak-hak tersebut memang sudah ada dalam kodratnya manusia, yang kita kenal dengan Hak Asasi Manusia. Setiap orang, bukan hanya penyandang Disabilitas haruslah mendapatkan hak tersebut tanpa diskriminasi dan pandangan atau stigma yang buruk, stigma yang buruk disini maksudnya stigma yang menganggap para Penyandang Disabilitas tidak bisa apa-apa sehingga diberi label ‘kasihan’ atau label-label negative terkait kondisi disabilitasnya.

Munculnya Dua Puluh Dua hak tersebut tentu memiliki landasan yang tidak main-main yang tertera dalam UU No.8 Tahun 2016, yaitu:
a. Penghormatan terhadap martabat;
b. otonomi individu;
c. tanpa Diskriminasi;
d. partisipasi penuh;
e. keragaman manusia dan kemanusiaan;
f. Kesamaan Kesempatan;
g. kesetaraan;
h. Aksesibilitas;
i. kapasitas yang terus berkembang dan identitas anak;
j. inklusif; dan
k. perlakuan khusus dan Pelindungan lebih.

Sehingga kita haruslah menghormati setiap perbedaan individu yang memiliki kemampuan, sifat, kemauan, motivasi, kecerdasan yang berbeda-beda. Yang paling penting ialah cara untuk memenuhi kewajiban sebagai Warga Negara dan Makhluk Tuhan secara mandiri tanpa hambatan yang berarti.

Tujuan dari Pemenuhan hak itu sendiri juga tertera dalam UU No.8 Tahun 2016, yaitu sebagai berikut:

a. mewujudkan Penghormatan, pemajuan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak asasi manusia serta kebebasan dasar Penyandang Disabilitas secara penuh dan setara;
b. menjamin upaya Penghormatan, pemajuan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak sebagai martabat yang melekat pada diri Penyandang Disabilitas;
c. mewujudkan taraf kehidupan Penyandang Disabilitas yang lebih berkualitas, adil, sejahtera lahir dan batin, mandiri, serta bermartabat;
d. melindungi Penyandang Disabilitas dari penelantaran dan eksploitasi, pelecehan dan segala tindakan diskriminatif, serta pelanggaran hak asasi manusia; dan
e. memastikan pelaksanaan upaya Penghormatan, pemajuan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas untuk mengembangkan diri serta mendayagunakan seluruh kemampuan sesuai bakat dan minat yang dimilikinya untuk menikmati, berperan serta berkontribusi secara optimal, aman, leluasa, dan bermartabat dalam segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Tujuan-tujuan itu sudah sangat rinci karena para Penyandang Disabilitas ingin mewujudkan kemandirian yang bermatabat, tanpa diskriminasi dari lingkungan sekitar, apalagi dari Negara.












Bonus>>>

Dalam Debat Capres dan Cawapres, ada pertanyaan tentang hak-hak politik Disabilitas, maka dari itu inilah hak-hak Politik Disabilitas:

a. memilih dan dipilih dalam jabatan publik;
b. menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan;
c. memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum;
d. membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi masyarakat dan/atau partai politik;
e. membentuk dan bergabung dalam organisasi Penyandang Disabilitas dan untuk mewakili Penyandang Disabilitas pada tingkat lokal, nasional, dan internasional;
f. berperan serta secara aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya;
g. memperoleh Aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; dan
h. memperoleh pendidikan politik.

Dari hak-hak tersebut kita dapat simpulkan bahwa hak-hak penyandang disabilitas sama saja halnya dalam UUD 1945, tidak ada yang terlalu berlebihan atau menyimpang dari UUD 1945. Yang dapat kita lakukan ialah membantu mewujudkan hak-hak tersebut dan menghapus label atau stigma negative yang ada dalam para penyandang disabilitas.
Note: Penulis tidak bermaksud untuk memilih, menyuruh, mengisyaratkan atau menunjuk salah satu Paslon yang paling hebat dan benar agar menang di periode nanti. Tapi tujuan dari penulisan ini agar kita bisa bersama-sama membangun asa untuk Indonesia nanti, terutama p ada bagian Penyandang Disabilitas. Semoga dengan tulisan ini, semua dapat terbantu untuk menciptakan situasi dan kondisi yang ramah dan memajukan disabilitas.


#KETERBATASANBUKANBERARTIDUNIATERBATAS

Sumber:
Debat Capres-Cawapres
UU No.8 Tahun 2016



x

Rabu, 04 Januari 2017

Hari Braille Sedunia

Hari Braille diperingati setiap tanggal 4 Januari yang merupakan hari ulang tahun penemu tulisan braille, yaitu Louis Braille. Hari Braille diperingati dalam rangka mengakui kontrubusi Louis Braille dalam membantu tunanetra untuk dapat membaca dan menulis.

membaca tulisan braille via britannica.com
Komunitas dan organisasi sosial pemerhati disabilitas di seluruh dunia menjadikan hari ini untuk dengan membuat  kepedulian tentang tantangan yang dihadapi penyandang tunanetra dan  mendorong pemerintah untuk menciptakan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan  dalam rangka pemenuhan hak penyandang disabilitas, khususnya penyandang tunanetra.
Untuk mengenang jasanya yang tak terhingga itu, pada tahun 1956 The World Council for The Welfare of the Blind (Dewan Dunia untuk Kesejahteraan Tunanetra) menjadikan bekas rumah kediaman Louis Braille yang terletak di Coupray, 40 km sebelah timur Paris, sebagai museum Louis Braille.

Tentang Braille

alfabet dalam tulisan braille via www.papermasters.com
Braille adalah merupakan sebuah sistem tulisan yang terdiri dari enam titik-titik timbul berbentuk “domino” sebagai kerangka sistem tulisannya. Bentuk sistem tulisan Braille itu yakni tiga titik ke bawah dan dua titik ke kanan. Untuk memudahkan pendeskripsian, tiga titik di sebelah kiri diberi nomor 1, 2 dan 3 (dari atas ke bawah), dan tiga titik di sebelah kanan diberi nomor 4, 5, dan 6. Satu atau beberapa dari enam titik itu divariasikan letaknya sehingga membentuk sebanyak 63 macam kombinasi yang cukup untuk menggambarkan abjad, angka, tandatanda baca, matematika, music, dan lain-lain.
Yang mendasari sistem tulisan Braille adalah sistem titik-titik timbul yang diciptakan oleh Charles Barbier, seorang perwira artileri Napoleon. Pada tahun 1815, dalam peperangan Napoleon, Barbier menciptakan tulisan sandi yang terdiri dari titik-titik dan garis-garis timbul yang dinamakannya “tulisan malam”. Barbier menggunakan tulisan ini untuk memungkinkan pasukannya membaca perintah-perintah militer dalam kegelapan amlam dengan merabanya melalui ujung-ujung jari. Barbier menggunakan pola 12 titik yang terdiri dari dua deretan vertical yang masing-masing terdiri dari enam titik. Titik-titik tersebut dibuat dengan menusukkan sebuah alat tajam pada kertas tebal yang diletakkan pada sebuah cetakan dari logam. Alat yang inovatif ini masih bertahan hingga kini sebagai alat tulis Braille yang paling banyak dipergunakan Di Indonesia, alat ini disebut “pen” dan “reglet”.   
  
Pada  tahun 1920, Barbier tertarik untuk memperkenalkannya kepada lembaga pendidikan penyandang tunanetra. Pada awalnya anak-anak tunanetra di lembaga itu sangat senang dengan tulisan ini, lebih mudah dikneali dengan unjung jari. Tetapi kemudian mereka menyadari bahwa sistem tulisan mala mini masih memiliki banyak kekurangan. Sistem ini tidak membedakan huruf capital dan huruf kecil, tidak ada tanda-tanda untuk angka, ataupun tanda-tanda baca, kemuduhkan membutuhkan banyak ruang, dan sulit dipelajari. Tulisan malam ini dirasa hanya efektif untuk menuliskan pesan-pesan singkat seperti “maju” atau “musuh ada di belakang kita”, tetapi kurang bagus untuk dibuat buku bagi tunantera. Hal tersebutlah yang melandasi Louis Braille untuk memodifikasi ciptaan Charles Barbier tersebut menjadi tulisan Braille yang lebih sempurna yang digunakan oleh penyandang tunanetra kini untuk membaca dan menulis.  

Tulisan Braille dibawa ke Indonesia oleh seorang Belanda pada awal abad ke-20. Braille diajarkan di BLinden Institut, sebuah lembaga tunanetra yang didirikan oleh Dr. Westhoff pada tahun 1901 di Bandung, yang kini lembaga tersebut bernama Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna yang berada di bawah Departemen Sosial RI.

Sabtu, 17 Desember 2016

Mendalami Anak Berkebutuhan Khusus




m
Anak Berkebutuhan Khusus belajar sambil bermain di Pasir Mukti, Kab. Bogor bersama Bravo via Arsip Bravo
Mereka ialah Anak Berkebutuhan Khusus. Sekiranya agak rumit untuk membuat batasan sejauh mana arti dari singkatan ini. Sebab, dalam situasi tertentu kita ingin menjadi bagian dari ABK, karna seringkali kita merasa memiliki kebutuhan khusus, bukan?

Konsep dan pemahaman terhadap Anak Berkebutuhan Khusus terus berkembang sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat. Pemikiran yang berkembang saat ini, mencoba melihat persoalan Anak Berkebutuhan Khusus dari sudut pandang yang lebih bersifat humanis, holistik, dan yang terpenting mengenai kebutuhan individu, bukan lagi atas dasar kekurangan dan ketidakmampuan dari Anak Berkebutuhan Khusus.

Anak Berkebutuhan Khusus dapat diartikan sebagai anak dengan hambatan perkembangan dan hambatan belajar, memerlukan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak. Ya, hambatan. Hal inilah yang menjadikan mereka menjadi Anak Berkebutuhan Khusus. Hambatan seperti apa kiranya?

Berdasarkan faktor penyebabnya, terdapat 2 klasifikasi untuk Anak Berkebutuhan Khusus, yaitu ABK yang bersifat sementara (temporer) dan ABK yang besifat menetap (permanen).
Anak Berkebutuhan Khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal seperti anak korban bencana alam, anak dengan trauma kejadian tertentu, dll. Sedangkan Anak Berkebutuhan Khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang disebabkan faktor internal, diakibatkan langsung dari kondisi yang dimiliki oleh anak.

Sebagai contoh, anak yang mengalami cedera tangan karena menjadi korban bencana alam, ia akan kesuitan akses belajar karena ia tidak dapat menulis sehingga ia menjadi ABK. Jika cedera tangannya sembuh dan ia kembali bisa menulis maka predikat ABK pada dirinya akan hilang (bersifat sementara), namun jika cedera tangannya tidak dapat disembuhkan maka ia akan tetap menjadi ABK (bersifat tetap).

Anak Berkebutuhan Khusus bukan berarti tidak memiliki kemampuan atau keahlian yang lebih baik dari anak pada umumnya. Hanya saja beberapa anak belum terlihat atau tergali potensi yang dimilikinya. Banyak diantara mereka yang dapat berkarya dengan hasil yang luar biasa. Yang terpenting, karya mereka takkan benar-benar terwujud apabila tidak ada suatu dukungan dari lingkungan sekitar dan pemerintah.

Bentuk perhatian pemerintah dapat diwujudkan dengan menyediakan sarana dan prasarana ABK untuk menyalurkan potensinya, salah satunya dengan layanan pendidikan yang memadai.
Bagaimana Bentuk Layanan Pendidikan yang Memadai?

Terdapat tiga macam layanan pendidikan untuk ABK, yaitu Pendidikan Segregasi, Pendidikan Integrasi, dan Pendidikan Inklusi.
 
SLB merupakan salah satu bentuk Pendidikan Segregasi via virgana.files.wordpress.com
Pertama, Pendidikan Segregasi atau yang biasa kita lihat pada sistem Sekolah Luar Biasa (SLB), sistem sekolah ini memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler.

ABK belajar bersama anak pada umumnya via http://11116dvs.blogspot.co.id
Kedua, Pendidikan Integrasi yang merujuk pada bersekolahnya ABK pada sekolah regular tetapi dalam unit atau kelas yang khusus.  Bentuk dari pendidikan ini bisa berupa berada di dalam satu kompleks sekolah namun dengan gedung dan jadwal yang berbeda atau belajar di kelas khusus dan sesekali bergabung dengan kelas reguler untuk mata pelajaran tertentu. Di dalam sistem pendidikan integrasi, anak berkebutuhan khusus menyesuaikan dengan sistem yang disediakan oleh sekolah.
sejumlah (ABK) mengikuti lomba menyusun puzzle di Serang, Banten via antaranews.com
Ketiga, Pendidikan Inklusi merupakan sebuah sistem pendidikan yang berusaha meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan, memberi peluang anak dengan latar belakang dan
kemampuan yang berbeda dapat berpartisipasi dalam lingkungan belajar yang sama. Sistem pendidikan ini merupakan wujud dari slogan “Educational for All” (Pendidikan untuk Semua).

Dalam konsep pendidikan kebutuhan khusus semua anak dipandang sebagai individu yang unik. Setiap individu anak memiliki perbedaan dalam perkembangan dan memiliki kebutuhan khusus yang berbeda pula. Diagnosa-diagnosa yang didapat terkadang menyebabkan anak-anak diberi label ketunaan yang mengakibatkan gurunya memfokuskan aktivitas layanan pendidikan pada keterbatasan yang disebabkan oleh ketidakmampuan anak. Ini mengakibatkan guru tidak menyadari potensi yang ada pada diri anak. 
Dalam konsep Pendidikan Khusus, sangat dihindari penggunaan label ketunaan, akan tetapi lebih menonjolkan anak sebagai individu yang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Dengan demikian layanan pendidikan tidak lagi didasarkan atas label ketidakmampuan anak, akan tetapi didasarkan pada hambatan belajar yang dialami dan kebutuhan setiap individu anak untuk dapat mencapai perkembangan optimal.

Setelah mengetahui dan memahami hal yang berhubungan dengan anak berkebutuhan khusus, sangat diharapkan kita dapat menjadi masyarakat yang inkusif, menerima keberagaman, dan menerima keberadaan mereka.


Putri Nur Asiati

Kamis, 24 November 2016

Aku, Kamu, Mereka = Kita



 
Sebuah keresahan yang sudah membatu membuat saya menulis sedikit cerita yang menurut sebagian orang tidak penting, tapi ini mendasar untuk saya ceritakan. Saya meyakini semua pembaca tulisan ini adalah generasi-generasi terdidik dalam memandang dan menyikapi sesuatu.

Mari kita mulai!

Indonesia merdeka sudah 71 tahun (hari ini), dengan catatan sejarah yang panjang dalam perjuangan. Bangsa ini tersohor karena memiliki beragam budaya, suku, bahasa dan manusia. Manusia yang dikenal banyak orang adalah manusia normal atau manusia pada umumnya. Saya yakin bahwa perjuangan negara untuk merdeka juga dilakukan oleh orang-orang cacat pada zaman itu (maaf saya bukan ahli sejarah, tapi boleh yaa berpendapat).

Lalu timbul pertanyaan yang menggelitik tapi cukup mendasar. Kenapa orang cacat itu tak masuk catatan sejarah? 

Mari kita berjalan kebelakang sebentar saja. berada kira-kira pada zaman abad 15 sampai abad 17 (kalau salah tolong koreksinya), dimana pada masa itu ada masa belas kasih, pola pikir kaum berpikir hanya terpusat pada kasihan, beranjak pada masa penyantunan, cara berpikir abad ini orang cacat hanya disantuni saja. Karena budaya berpikir pada masa itu belum secantik sekarang. mungkin hal itu yang membuat orang cacat tak pernah masuk dalam catatan sejarah.

Lanjut (lagi)!!

Sebagian pembaca mungkin bertanya kenapa saya masih menggunakan istilah cacat dalam tulisan saya. Iya, sebab saya mencoba membawa pembaca bagaimana melihat perjalanan kata cacat sampai kepada kata disabilitas. Perjuangan dan penuntutan keadilan para penyandang cacat sedikit terkabul ketika mereka menyuarakan agar kata cacat itu dihilangkan dan diganti dengan bahasa yang lebih halus. Hal itu kemudian didengar oleh pemerintah dan dengan rapat yang cukup banyak menelan uang negara, yang akhirnya kata cacat dihilangkan, lalu munculah kata disabilitas. Ternyata perjuangan untuk mengganti nama cacat saja butuh perjuangan, yakni dari pertama merdeka sampai kata disabilitas muncul butuh waktu yang sangat sangat lama, hingga puluhan tahun bahkan. 

Lalu bagaimana dengan pemenuhan hak?

Berbicara pemenuhan hak berarti berbicara kesetaraan. Oh iya, sang pemikir tua (saya menyebutnya) yang dahulu membuat UUD 1945 dan pancasila sebagai dasar negara memiliki pemikiran sangat baik. Pembaca tidak akan menemukan satu kata pun tentang mayoritas atau minoritas dalam pembukaan UUD. 

Haruskah kita membangunkan pemikir tua tadi dari tidurnya untuk menjelaskan bahwa semua warga negara Indonesia ini sama?
 
Haruskah penyandang disabilitas ini menuntut kesetaraan terus menerus sampai negara ini berdiri satu hari sebelum kiamat?

Sangat berat memang. Namun generasi muda tercipta untuk memutus generasi tua atau pemimpin yang mengacau, sudah saatnya turun tangan dan berbuat. Untuk merubah generasi tua nampaknya sudah tidak mungkin, sebab logika berpikir mereka hari ini sudah sangat berbeda.

Pemikiran hari ini adalah hasil dari pemikiran masa lalu, sedang pemikiran masa depan adalah hasil pemikiran hari ini. Struktur berpikir yang benar akan membuat semua masalah berujung solusi (Anies Baswedan). Mungkin gagasan ini cocok untuk bagaimana kita menyelesaikan masalah dengan struktur berpikir. Tugas generasi muda hari ini adalah membukakan perspektif kepada generasi muda yang lain. Sebab, bangsa ini akan dipimpin oleh generasi muda nantinya. Perspektif yang kita gaungkan adalah bagaimana cara pandang kita melihat penyandang disabilitas itu sama dalam hak sebagai warga negara. Kalau generasi muda yang memimpin nantinya masih sama saja seperti sekarang, sepertinya penyandang disabiitas akan bekerja ekstra dalam pemenuhan hak nya. Tan Malaka dalam Madilog pernah berbicara “Perjuangan kaum yang tertindas akan terus berlanjut ketika penguasa atau penghisap masih ada dalam pimpinan kekuasaan” kira-kira begitu.

Aku, Kamu, Mereka = Kita

Kata kita memiliki arti yang menyatukan, menyamakan, dll. Dalam arti berbeda adalah disabilitas akan memiliki kesamaan ketika di tangan pemimpin yang mampu menyetarakan mereka.

Mari berbuat dengan cara kita masing-masing untuk kesetaraan disabilitas dan negara. 

Ady Syahputra Gultom